Gerhana Matahari dan Bulan. Sesungguhnya matahari dan bulan, keduanya adalah tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan itu karena kematian atau karena hidupnya seseorang.Apabila kamu melihat keduanya, maka berdoalah kamu kepada Allah dan shalatlah kamu sampai hilangnya (gerhana itu).

بسم الله الرحمن الرحيم

Gerhana Matahari dan Bulan.
Sesungguhnya matahari dan bulan, keduanya adalah tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan itu karena kematian atau karena hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat keduanya, maka berdoalah kamu kepada Allah dan shalatlah kamu sampai hilangnya (gerhana itu).





Apa Hukumnya Sholat Gerhana itu ?

Tentang hukumnya, ada khilaf (perbedaan pendapat) diantara para ulama sebagai berikut :

Pertama : Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat ditekankan), karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan yang demikian, beliau juga telah melakukannya (sholat Kusuf tersebut) dan beliau tidak mewajibkannya. Demikian pula dikarenakan adanya sabda beliau : “Lima sholat dalam sehari semalam….”

Kedua : Sebagian ulama berpendapat hukumnya adalah wajib. Ini adalah pendapatnya Abu ‘Awanah dalam Shohih-nya, dan juga pendapatnya Abu Hanifah dan sebagian ulama Hanabilah.Syaikh Utsaimin juga menyatakan sebagai sholat yang hukumnya wajib/fardhu, tetapi fardhunya adalah fardhu kifayah.

Pendapat yang rojih dalam masalah ini adalah pendapat kedua, yakni hukumnya adalah wajib, karena adanya perintah Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, sebagaimana dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah rodhiyallohu ‘anhu, yang menceritakan : “Telah terjadi gerhana matahari di jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, pada hari meninggalnya Ibrohim – putra Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam -, (orang-orang pun mengatakan : “Gerhana matahari ini terjadi karena meninggalnya Ibrohim”), maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :“Sesungguhnya matahari dan bulan keduanya adalah tanda dari tanda-tanda kekuasaan Alloh. Tidaklah terjadi gerhana matahari dan bulan itu karena kematian atau karena hidupnya seseorang.Apabila kamu melihat keduanya (yakni gerhana matahari dan bulan), maka berdoalah kamu kepada Alloh dan sholatlah kamu sampai hilangnya (gerhana itu).” (HR. Imam Al-Bukhori no. 1043 dan Imam Muslim no. 915)

Dalam hadits Abu Bakroh rodhiyallohu ‘anhu dengan lafadz :“…..maka sholatlah dan berdoalah kamu sampai hilangnya apa yang kalian alami tersebut (yakni gerhana).” (HR Imam Al-Bukhori no. 1040)

Adapun pendapat pertama yang berdalil dengan hadits “Sholat lima waktu dalam sehari semalam..”, sebagai dalil yang menunjukkan bahwa sholat wajib itu hanyalah lima waktu itu saja, adapun yang selain itu berarti adalah mustahab/sunnah, maka hal ini dibantah oleh guru kami Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh sebagai berikut : “ (Hadits tersebut) bukan sebagai dalil bahwa Sholat Kusuf itu mustahab (sunnah) yakni bukan perkara yang wajib, karena maksud dari hadits tersebut adalah menjelaskan bahwa perkara yang wajib untuk ditunaikan oleh seseorang dalam sehari semalam itu ada lima, hal ini tidak menafikan (meniadakan) dari yang selain lima sholat tersebut, yakni yang berupa sholat-sholat yang wajib ditunaikan karena adanya sebab-sebab tertentu, wallohu a’lam.” (Fathul ‘Allam fii Dirosah Ahaaditsi Bulughil Marom, 2/219)

Untuk lebih luasnya pembahasan dalam masalah ini, silahkan melihat Al-Inshof (2/416), Fathul Bari (no. 1040), Al-Mughni (3/330), Shohih Abi ‘Awanah (2/92) dan As-Syarhul Mumti’ (5/237).



Kapan Waktu Pelaksanaan Sholat Gerhana itu ?

Kemudian tentang waktu pelaksanaan sholat kusuf tersebut adalah dimulai sejak terjadinya gerhana, dan berakhir waktunya adalah dengan hilangnya gerhana tersebut dan munculnya kembali matahari atau bulan, sebagaimana dijelaskan pada hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah dan hadits Abu Bakroh rodhiyallohu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas, wallohu a’lam (lihat Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (5/54) karya Imam An-Nawawi dan Al-Mughni (3/330) karya Ibnu Qudamah rohimahulloh)

Adapun tentang panggilan atau seruan atau pemberitahuan yang menandai dilaksanakannya sholat gerhana, adalah dengan diserukannya ucapan : “Ashsholaatu Jaami’ah”, bukan dengan seruan adzan atau iqomah. Hal ini berdasarkan hadits Abdulloh bin ‘Amru bin Al-‘Ash rodhiyallohu ‘anhuma, beliau berkata :“Ketika terjadi gerhana matahari di jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, diserukan (dengan) “Assholaatu Jaami’ah”…..” (HR Imam Al-Bukhori no. 1045 dan Imam Muslim no. 910)

Al-Imam Ibnu Qudamah rohimahulloh berkata : “Disunnahkan untuk diserukan “Assholaatu Jaami’ah” untuk sholat gerhana, dikarenakan riwayat dari Abdulloh bin ‘Amr…….(lalu beliau menyebutkan hadits di atas), tidak disunnahkan adzan dan iqomah untuk sholat gerhana tersebut, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat gerhana tanpa adzan dan tanpa iqomah, dan juga karena hal ini bukanlah termasuk sholat lima waktu, sehingga keadaannya menyerupai seluruh sholat sunnah.” (Al-Mughni (3/322) dan Al-Majmu’, 5/44)



Bagaimanakah Sifat (Tata Cara) Sholat Kusuf itu ?

Adapun tentang sifat sholat kusuf tersebut, berdasarkan dalil-dalil yang ada adalah sebagai berikut :

Sholat Kusuf (gerhana) dilaksanakan dengan berjama’ah di masjid, berdasarkan fi’il (perbuatan) Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. (HR Imam Al-Bukhori 1046 dan Imam Muslim no. 901 dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha dll)
Jumlah roka’atnya adalah 2 roka’at, tetapi pada setiap roka’at dilakukan 2 kali ruku’ dan 2 kali sujud. Sehingga dalam 2 roka’at tersebut semuanya terdapat 4 ruku’ dan 4 sujud, juga terdapat 4 kali membaca Al-Fatihah dan 4 kali membaca surat/ayat-ayat yang panjang.
Gambarannya, pada roka’at pertama melakukan Takbirotul Ihrom, terus membaca Surat Al-Fatihah dan Surat yang sangat panjang dengan dibaca jahr (keras/nyaring), setelah itu takbir untuk ruku’ dengan ruku’ yang panjang/lama, lalu I’tidal sambil mengucapkan “sami’allohu liman hamidah…dst”, kemudian membaca Al-Fatihah lagi dan surat/ayat yang panjang lagi tetapi lebih ringan daripada bacaan sebelumnya, kemudian ruku’, I’tidal lalu sujud 2 kali seperti biasanya, semuanya itu dilakukan dengan panjang/lama. Maka dengan ini telah sempurna satu roka’at. Setelah itu berdiri menuju roka’at berikutnya, dengan melakukan seperti yang dilakukan pada roka’at yang pertama, kemudian tasyahhud dan salam. (HR Imam Al-Bukhori 1052 dan Imam Muslim no. 907 dari hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma)
Setelah sholat selesai dilaksanakan khutbah atau ceramah (yakni dengan satu kali khutbah, bukan dua kali sebagaimana anggapan sebagian ulama). (lihat rujukan di atas). Wallohu a’lamu bis showab.



Masalah :“Apabila ada seorang makmum masbuq (terlambat sholat), dia hanya mendapati ruku’ yang kedua saja dan tidak mendapati ruku’ yang pertama dalam roka’at yang pertama, apa yang seharusnya dia lakukan ? Apakah dia telah mendapatkan satu roka’at yang sempurna ?”

Dalam masalah ini ada khilaf diantara para ulama, adapun yang rojih adalah orang tersebut belum mendapatkan satu roka’at yang sempurna. Maka yang seharusnya dia lakukan adalah : apabila imam telah salam, dia berdiri lagi untuk menambah 1 roka’at lagi (karena roka’at yang kedua telah sempurna bersama imamnya, sedangkan roka’at pertama belum sempurna, sehingga wajib mengulang), dengan melakukan 2 kali ruku’ dan 2 kali sujud dalam satu roka’at tersebut. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’i dan para sahabatnya (para ulama yang semadzhab dengan beliau), juga salah satu pendapat dari para ulama Hanabilah, dan ini pula yang dirojihkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz dan Syaikh Utsaimin rohimahumalloh, juga yang dirojihkan oleh guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh

(lihat : Al-Inshof (2/421), Al-Majmu’ (5/61), Al-Mughni (3/332) dan Fathul ‘Allam, 2/228 )



Masalah :“Bolehkan melakukan sholat kusuf pada waktu-waktu yang kita dilarang sholat padanya ?”

Tentang masalah ini, sebagian ulama melarangnya, seperti para ulama Hanabilah, Malikiyyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hambal. Tetapi sebagian ulama lainnya membolehkannya, seperti para ulama Syafi’iyyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal.Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh.

Guru kami, Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam hafidzhohulloh mengatakan : “Pendapat inilah (yakni yang membolehkan) yang benar, karena sholat kusuf itu adalah sholat yang dilakukan karena adanya sebab (yakni sebabnya karena adanya kusuf/gerhana, sehingga kapan saja terjadi gerhana meski pada waktu-waktu yang terlarang, maka boleh melakukannya,edt.)…” (Fathul ‘Allam, 2/228)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan : “Pendapat yang shohih dalam masalah ini, bahwa sholat yang mempunyai sebab itu boleh dilakukan (meskipun) di waktu-waktu terlarang semuanya, baik waktunya panjang atau pendek, dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut :

Bahwa keumuman (perintah untuk melaksanakannya) adalah mahfudz (terpelihara), yakni tidak dikhususkan (oleh apapun), sedangkan keumuman yang mahfudz tersebut lebih kuat daripada keumuman yang makhshush (yang dikhususkan dengan dalil lailnya).
Disana tidak ada pembeda diantara keumumannya (keumuman perintah untuk sholat karena sebab tertentu, edt.), maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada orang belum melakukan sholat karena lupa) :“Maka hendaknya dia sholat apabila dia teringat..”. Sehingga jumhur ulama berdalil dengan dalil ini (untuk menetapkan kebolehannya), demikian pula dengan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :“Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia sholat dua roka’at.”
Bahwasannya perintah untuk sholat tersebut terkait dengan adanya sebab, sehingga jauh sekali penyerupaannya dari perbuatannya orang-orang musyrik (maksudnya, sholat yang dilakukan karena sebab tertentu, boleh dilakukan meski di waktu-waktu yang terlarang, hal itu karena adanya sebab-sebab tertentu. Berbeda dengan perbuatannya orang-orang musyrik penyembah matahari, yang mana mereka sengaja beribadah di waktu terbitnya matahari atau waktu tenggelamnya, dimana hal itu adalah waktu-waktu yang syari’at agama ini melarang kita dari melakukan ibadah, karena akan menyerupai mereka. Larangan tersebut adalah bila tanpa adanya sebab, tetapi bila karena adanya sebab tertentu, maka tidak mengapa menurut pendapat yang paling rojih, wallohu a’lam, edt.)
Bahwasannya pada sebagian lafadz hadits disebutkan tentang larangannya :“Janganlah kalian menepatkan (dengan sengaja) sholat kalian dengan terbitnya matahari dan jangan pula ketika tenggelamnya..”. Maka sholatnya orang (di waktu-waktu tersebut) karena adanya sebab tidaklah dikatakan “menepatkan (dengan sengaja)”, tetapi dikatakan : “Sholatlah kalian karena sebab…”. (Syarhul Mumti’, 4/179-181)

Pendapat yang membolehkan sholat karena adanya sebab meski di waktu-waktu terlarang ini, juga dirojihkan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dan Syaikh Bin Baaz rohimahumalloh. Wallohu a’lamu bis showab (lihat Fathul ‘Allam, 1/461)



Masalah :“Apabila waktu pelaksanaan sholat kusuf bersamaan/berbenturan dengan waktu sholat yang lainnya, manakah yang harus kita dulukan ?”

Tentang masalah ini, mayoritas ahlul ilmi (para ulama) berpendapat : “Bila waktunya bersamaan dengan sholat-sholat fardhu, maka didahulukan sholat kusufnya, selama tidak dikuatirkan terlewatkannya waktu sholat fardhu tersebut. Bila waktunya bersamaan dengan waktu pelaksanaan sholat nafilah (sholat sunnah), maka didahulukan sholat kusufnya, meski hal itu sholat tarowih atau sholat witir. Apabila bersamaan waktunya dengan sholat jenasah, maka didahulukan sholat jenasahnya, karena adanya perintah untuk menyegerakannya/mempercepatkannya, dan juga karena dikuatirkan berubahnya (keadaan) jenasah tersebut.” (lihat masalah ini pada rujukan sebagai berikut :Al-Inshof (2/423), Al-Mughni (3/331), Al-Majmu’ (5/55), dan Bidayatul Mujtahid (1/293-294) )

Penyusun : Abu Abdirrohman Yoyok WN Surabaya



Sumber

darul-ilmi.com

http://islam-itu-mulia.blogspot.com/2016/03/gerhana-matahari-dan-bulan-sesungguhnya.html