Autobiografi al-Imam al-Mujaddid Muqbil bin Hadi al-Wadi`i –rahimahullahu-
رحمه الله- الإمام المجدد مقبل بن هادي الوادعي
Penulis: Shaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i - مقبل بن هادي الوادعي الشيخ (Autobiografi)
Sumber: Tarjamah Abi ‘Abdir-Rahmaan (hal. 16-29, dengan sedikit peringkasan) [Edisi 2; 1999]
 Aku berasal dari Wadi'ah, suatu tempat di timur kota Sa'dah, dari lembah Dammaj. Namaku Muqbil bin Hadi bin Muqbil bin Qa’idah al-Hamdani al-Wadi’i al-Khallali, dari suku Ali Rasyid.[1]
رحمه الله- الإمام المجدد مقبل بن هادي الوادعي
Penulis: Shaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i - مقبل بن هادي الوادعي الشيخ (Autobiografi)
Sumber: Tarjamah Abi ‘Abdir-Rahmaan (hal. 16-29, dengan sedikit peringkasan) [Edisi 2; 1999]
 Aku berasal dari Wadi'ah, suatu tempat di timur kota Sa'dah, dari lembah Dammaj. Namaku Muqbil bin Hadi bin Muqbil bin Qa’idah al-Hamdani al-Wadi’i al-Khallali, dari suku Ali Rasyid.[1]
[1] Editor: Di biografi Ummu ‘Abdillah al-Wadi’iyyah saat menerangkan ayahnya, berkata: “Ayah Syaikh Muqbil wafat ketika Syaikh Muqbil masih kecil dan dia tidak mengenalnya. Maka dia dibesarkan sebagai anak yatim dan hidup di bawah pemeliharaan ibunya beberapa lama. Ibunya memintanya untuk mencari uang dan memerintahnya untuk memperhatikan masyarakatnya sehingga dia bisa menjadi seperti mereka. Akan tetapi dia berpaling dari itu dan berkata: "Aku ingin pergi untuk belajar." Maka ibunya berkata: "Semoga Allah membimbingmu." Ibunya berdoa untuknya agar dia diberikan petunjuk, sebagaimana yang diceritakan kepadaku oleh para wanita yang hidup saat itu. Bisa jadi doa ibunya bertepatan dengan saat dikabulkannya doa karena kemudian Syaikh Muqbil menjadi orang diberikan petunjuk, memberikan petunjuk kepada orang lain." [Nubdzah Mukhtasarah: hal. 18]
 Alhamdulillah, mayoritas masyarakat Wadi’ah, yang bertetangga dengan Sa’adah mendukungku dan da’wah. Sebagiannya membela atas dasar agama, sementara yang lainnya atas dasar loyalitas kesukuan. Jika bukan pertama-tama karena pertolongan Allah, bisa jadi mereka, musuh da'wah salafi, khususnya Syi'ah di Sa'adah, tidak akan membiarkan tanda-tanda atau jejak-jejak kami.
Aku akan menyebutkan beberapa contoh dari mereka, yang aku berdoa kepada Allah untuk memberikan pahala kepada mereka, salah satunya adalah ketika aku mengalami perlawanan sengit di Masjid al-Hadi karena aku memalingkan manusia dari da'wah Syi'ah di sana. Maka beberapa pria dari Wadi'ah dan lainnya berdiri mendukungku sampai pada titik di mana Allah menyelamatkanku melalui tangan mereka. Syi'ah ingin menguasaiku. Ini pada masa Ibrahim al-Hamdi. Dan orang-orang jahat dari pengikut Komunis dan Syi'ah mengangkat kepala-kepalanya dan menjebloskanku ke penjara selama sebelas hari di bulan Ramadhan. Sekitar limapuluh pemuda Wadi’ah kemudian mendatangiku di penjara selama beberapa malam, sementara seratus limapuluh pria lainnya juga mendatangi pengurus penjara pada malam-malam itu, sedemikian rupa hingga pengurus penjara bosan dan melepaskanku, alhamdulillah.
Contoh lainnya adalah saat musuh da'wah kadang-kadang memasuki Dammaj dengan senjata mereka, maka penduduk Dammaj kemudian mengusir mereka dan mereka dipaksa pergi dengan kehinaan.
Contoh selainnya adalah saat aku safar . Ketika aku berkata: “Aku akan safar”, mereka akan saling bersaing, semoga Allah menjaga mereka, berusaha mendampingi dan mengawalku. Maka kadang-kadang kami safar dalam rombongan yang terdiri 15 mobil!
Selama masa-masa itu, da’wah berkembang secara luar biasa karena, alhamdulillah, aku mulai beranjak tua. Mungkin pada saat itu aku telah berusia sekitar 62 tahun. Maka itu adalah suatu ujian dan nasihat dari mereka yang mencintai da’wah untuk mendorongku bersabar dan tidak menyibukan diri kepada musuh, yang mereka tidak punya apa pun kecuali penghinaan dan pelecehan.
Juga, disebabkan kesibukanku mengajar, menulis dan berda'wah, aku tidak punya waktu untuk mengurusi musuh. Maka biarkan mereka berkata apa yang mereka inginkan, karena banyaknya dosa-dosaku, dan semoga dengan adanya fitnah ini, dosa-dosaku akan diampuni dan kemudian ditimpakan kepada pundak mereka.
Riwayat Pencarian Ilmu:
 Aku dulu belajar di sekolah sampai menamatkannya. Kemudian waktu berlalu tanpa aku mencari ilmu karena saat itu tidak ada orang yang mendorongku atau membantuku dalam mencari ilmu. Dan aku terbiasa mencintai mencari ilmu. Maka aku mencarinya di Masjid al-Hadi akan tetapi aku tidak dibantu di sana. Setelah beberapa lama, aku meninggalkan negaraku (Yaman) dan pergi ke tanah suci (Mekah dan Madinah) dan Najed. Di sana aku kemudian mendengarkan penceramah dan tersentuh isinya. Maka aku minta nasihat kepada beberapa penceramah mengenai kitab apa yang sebaiknya aku beli? Mereka menasihatiku untuk memiliki Sahih al-Bukhari, Bulugh al-Maram, Riyadh as-Shalihin, dan Fath al-Majid syarah Kitab at-Tauhid. Dan mereka memberiku salinan materi dari pelajaran tentang tauhid.
 Pada masa itu, aku bekerja sebagai penjaga keamanan sebuah bangunan di Mekah. Dan kemudian aku menekuni kitab-kitab itu, dan isinya terekam di kepalaku karena masyarakat di negaraku mengamalkan apa-apa yang bertentangan dengan isi kitab-kitab itu, terutama Fath al-Majid. Lalu waktu berjalan, aku kembali ke negaraku dan mulai mendebat apa pun yang aku lihat berlawanan dengan isi dari kitab-kitab itu, seperti berkurban kepada selain Allah, membangun cungkup di atas kuburan, dan berdoa kepada mayit. Maka berita ini berkembang sampai didengar orang-orang Syi'ah dan mereka mulai mengecam apa-apa yang aku yakini. Satu dari mereka berkata (dari hadits): “Barang siapa murtad, maka bunuhlah dia.” Yang lainnya menyurati keluargaku dengan perkataan: “Jika kalian tidak menjaganya, kami akan memenjarakannya!”
 Akan tetapi setelah itu, mereka setuju membolehkanku masuk Masjid al-Hadi dalam rangka belajar bersama mereka, sehingga mereka bisa (mungkin) menghapus 'kesesatan' yang melekat di hatiku. Maka kemudian. aku diterima belajar bersama mereka di Masjid al-Hadi. Ketua bidang pendidikannya adalah Hakim Muthahir Hanasy. Aku belajar kitab al-‘Aqd ats-Tsamin dan ats-Tsalatsin Mas’alah, diiringi syarah oleh Habis. Seorang dari guru-guru yang mengajariku di sana ialah Muhammad bin Hasan al-Mutamayyiz. Suatu saat kami berdiskusi tentang topik melihat Allah di akhirat, maka dia segera mengejek dan mentertawakan Ibnu Khuzaimah dan Imam-imam Ahlus Sunnah lainnya, akan tetapi aku menyembunyikan aqidahku. Bahkan saat itu aku terlalu lemah/tidak berani untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiriku saat shalat, dan aku shalat dengan tanganku terlepas di sisi tubuhku (yakni tidak bersedekap, membiarkan lepas seperti shalatnya pengikut Syi'ah). Kami mempelajari teks al-Azhar sampai kepada bab perkawinan.
 Aku juga mempelajari penjelasan hukum-hukum warisan dari sebuah kitab besar di atas tingkat dasar, tetapi aku tidak mendapat manfaat darinya. Maka aku menilai bahwa kitab-kitab yang dipelajari tidak bermanfaat, kecuali kitab-kitab Nahwu/Grammar, karena aku belajar al-Ajrumiyyah dan Qathrun Nada bersama mereka. Kemudian aku meminta kepada seorang Hakim, Qasim bin Yahya asy-Syuwayl, untuk mengajariku Bulugh al-Maram. Maka kami memulainya, tetapi lalu kami tidak bersepakat pada sesuatu, maka kami meninggalkannya.. Ketika aku melihat kitab-kitab yang diajarkan adalah berasal dari lingkungan Syi'ah dan Muta'zilah, aku memfokuskan hanya belajar kitab-kitab Nahwu. Maka aku belajar Qathrun Nada beberapa kali kepada Isma’il al-Hatbah, semoga Allah merahmatinya, di masjid di mana aku tinggal dan shalat di sana. Dan dia memberikan banyak waktu kepada kami dan perhatian. Satu waktu, Muhammad bin Huriyyah datang ke masjid dan aku menasihatinya agar meninggalkan astrology (tanjim). Maka dia mengajak manusia di sana untuk mengusirku dari kelas, akan tetapi mereka membelaku dan dia kemudian diam. Beberapa orang Syi'ah menghampiriku ketika aku sedang belajar Qathrun Nada dan mengatakan sesuatu dengan makna bahwa pendidikan tidak akan memberikan pengaruh kepadaku. Tetapi aku tetap tenang dan mengambil manfaat dari kitab-kitab Nahwu. Aku melakukannya sampai revolusi mulai di Yaman, dan kami meninggalkan negara kami, dan menetap di Najran Saudi Arabia.
 Di sana aku belajar bersama Abul-Husayn Majd-ud-Deen al-Mu’id dan mengambil manfaat darinya terutama dalam bahasa Arab. Aku hidup di Najran selama 2 tahun. Lalu saat aku yakin bahwa peperangan antara Partai Republik dan Partai Raja (di Yaman) adalah demi keduniaan, aku memutuskan pergi ke tanah suci (Mekah dan Madinah) dan ke Najed. Aku tinggal di Najed selama satu setengah bulan di madrasah penghafalan al-Qur'an, yang ditangani Syaikh Muhammad bin Sinan al-Hada’i. Dia sangat ramah kepadaku karena dia melihatku bersemangat mengambil manfaat ilmu. Dan dia menasihatiku untuk menetap sementara sampai dia dapat memasukkanku ke Islamic University (of Madeenah).
 Akan tetapi lingkungan di Riyadh mempengaruhiku dan aku memutuskan pergi ke Mekah. Aku bekerja di siang hari ketika ada pekerjaan, dan aku menuntut ilmu pada malam hari, menghadiri majelis Syaikh Yahya bin ‘Utsman al-Pakistani pada pelajaran Tafsir Ibnu Katsir, Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Aku beranjak kepada beberapa kitab lainnya dan di sana aku berjumpa dengan dua Syaikh yang mulia dari para ulama Yaman:Pertama: Hakim Yahya al-Asywal. Aku belajar Subul as-Salam ash-Shan’ani dengannya dan dia akan mengajariku apa pun topik yang aku tanyakan. Kedua: Syaikh ‘Abdur-Razzaq asy-Syahizhi al-Muhwayti. Dia juga akan mengajariku apa pun topik yang aku tanyakan.
 Kemudian ketika dibuka Ma'had al-Haram di Mekah dan aku mengikuti ujian masuk bersama sekelompok pelajar, dan aku diterima, alhamdulillah. Yang terkenal dari guru-guru kami di sana adalah Syaikh ‘Abdul-‘Aziz as-Subayyal. Aku, bersama dengan sejumlah pelajar Ma'had, juga belajar kepada Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Humayd, semoga Allah merahmatinya, kitab at-Tuhfah as-Saniyyah setelah ‘Isyaa di Masjid al-Haram. Dia, semoga Allah merahmatinya, membawakan banyak manfaat dari syarah Ibnu ‘Aqeel dan para ulama lainnya. Pelajaran ini melebihi tingkat pengetahuan rekan-rekanku, maka mereka menyelinap pergi sehingga dia menghentikannya. Aku juga belajar bersama dengan sekelompok murid Syaikh Muhammad as-Subayyal, semoga Allah merahmatinya, pada bab hukum-hukum warisan. Setelah tinggal beberapa lama di Ma'had al-Haram, aku pergi ke keluargaku di Najran. Lalu aku memboyong mereka untuk hidup denganku di Mekah. Kami menetap di sana bersama-sama selama periode belajarku di Ma'had dan di Masjid al-Haram, yang berlangsung selama enam tahun.
 Berkah dari menuntut ilmu di masjid telah diketahui. Jangan bertanya tentang lingkungan yang kondusif dan kedamaian yang kami rasakan ketika di masjid. Nabi -صلى الله عليه وسلم- telah berkata kebenaran saat beliau berkata: “Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah-rumah Allah (masjid). Mereka membaca al-Qur`an dan saling mempelajarinya (bersama-sama) di antara mereka, melainkan (akan) turun ketenangan atas mereka, mereka akan diliputi rahmat, dan para Malaikat (hadir) mengelilingi mereka, serta Allah menyebutkan (nama-nama) mereka di hadapan (para Malaikat) yang berada di sisi-Nya.” Maka aku menghabiskan siang hari dengan belajar di Ma'had, dan semua pelajaran menguatkan iman dan agamaku. Kemudian dari ba'da Ashar sampai ba'da ‘Isya, aku pergi ke Masjid al-Haram dan minum air Zam-zam, seperti Nabi -صلى الله عليه وسلم- katakan: "Sesungguhnya, air tersebut bisa menjadi makanan yang mengenyangkan dan bisa sebagai obat penyakit." Dan kami berkesempatan mendengarkan para da’i yang mendatangi Mekah dari berbagai penjuru negeri saat melaksanakan ibadah haji atau umroh.
 Salah seorang guru yang kami belajar di Masjid al-Haram pada waktu antara Maghrib dan ‘Isya ialah Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Rasyid an-Najdi, penulis kitab “Taysir-ul-Wahyain fil-Iqtishar ‘alal-Qur’ani was-Sahihain”, yang dia mempunyai suatu kesalahan yang kami tidak menyetujuinya. Dia, semoga Allah merahmatinya, berkata: “Hadits-hadits Sahih yang tidak ditemukan pada kitab Sahihain dapat dihitung dengan jari seseorang." Pernyataan ini terekam di benakku karena aku berkeberatan atasnya. Ini adalah semua jalan sampai aku memutuskan untuk menulis "As-Sahih-ul-Musnad mimmaa laysa fis-Sahihain”, setelahnya aku tambah yakin akan kesalahan pernyataannya, semoga Allah merahmatinya. Bagaimanapun, dia seorang muwahid, yang mempunyai ilmu yang kuat di bidang ilmu hadits dan mampu membedakan yang sahih dari yang lemah dan yang cacat dari yang sehat yang berkaitan dengan ilmu hadits. Apa yang mengagumkanku tentangnya ialah bahwa dia memperingatkan manusia dari taqlid (fanatik buta), dia menulis risalah berjudul "At-Tawaaghit-ul-Muqanna". Maka pemerintah, dan juga para ulama senior, menduga bahwa dia membidik mereka melalui kitabnya. Maka Panitia Para Ulama Senior berkumpul bersama untuk mendebatnya. Mereka berkata: “Apakah yang engkau maksudkan di dalam kitabmu adalah kami dan pemerintah?” Maka dia menjawab: “Bila engkau merasa bahwa engkau mempunyai karakteristik yang aku sebutkan di kitabku, maka itu termasuk engkau. Dan bila engkau tidak merasa bahwa engkau mempunyai karakteristik yang aku sebutkan di kitabku, maka itu tidak termasuk engkau.” Sesudahnya, kitab itu dilarang beredar di Kerajaan. Aku diberitahu tentang hal ini. Suatu malam, dia diminta untuk mengajar, tetapi seolah-olah ini hanya untuk mengetesnya. Maka dia memulai pelajaranya dengan perkataan Allah: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya [Maksudnya: pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada kesesatan]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." [Surat al-A’raaf: 3] Dia melanjutkan sejumlah ayat sebagai dalil larangan taqlid (fanatik buta). Sesudah ini, dia dilarang mengajar di Masjid al-Haram, dan kita minta pertolongan kepada Allah.
 Dan seorang dari guru-guruku di Masjid al-Haram Mekah yang aku mengambil manfaat darinya adalah Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah as-Sumali, yang aku hadiri majelisnya sekitar lebih dari tujuh bulan. Dan dia adalah ayat (tanda nyata) di bidang ilmu perawi hadits yang dipakai Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim). Aku mendapat manfaat yang sangat besar dari dirinya dalam ilmu hadits. Alhamdulillah, sejak awal aku mulai mencari ilmu, aku tidak mencintai apa pun selain ilmu Kitab dan Sunnah.
 Setelah aku menyelesaikan tingkat menengah dan atas di Ma'had al-Haram Mekah, dan setelah menamatkan semua pelajaran agama, aku pindah ke Madinah masuk Islamic University di sana. Mayoritas dari kami dimasukkan ke Fakultas Da’wah dan Ushuluddin. Yang paling terkemuka yang mengajar kami di sana: Syaikh as-Sayyid Muhammad al-Hakim dan Syaikh Mahmud ‘Abdul-Wahhab Fa’id, keduanya dari Mesir. Saat musim liburan tiba, aku kawatir waktu berlalu dengan sia-sia maka aku masuk ke Fakultas Syari’ah, karena dua alasan, yang pertama untuk mencari ilmu. Yang kedua karena ada beberapa pelajaran yang terpisah sementara yang lainnya bisa digabungkan. Jadi itu seperti pengulangan dari apa yang kita pernah pelajari di Fakultas Dakwah. Aku menyelesaikan keduanya, alhamdulillah, dan aku mendapat dua gelar/ijazah (Lc., setara S1). Meskipun, alhamdulillah, tujuanku tidak mencari ijazah; penghargaan yang paling bermanfaat menurutku adalah mendapat ilmu.
 Pada tahun yang sama ketika aku menamatkan studi di dua fakultas, program lanjutan dibuka di Islamic University, yang disebut program pasca sarjana/magister (setara S2). Maka aku mengikuti ujian wawancara dan diterima, alhamdulillah. Program studinya adalah ilmu hadits. Alhamdulillah, aku mempelajari bidang yang paling aku cintai. Yang paling menonjol dari mereka yang mengajar kita di sana adalah Syaikh Muhammad al-Amin al-Misri, semoga Allaah merahmatinya, Syaikh as-Sayyid Muhammad al-Hakim al-Misri, dan pada periode akhir masa studiku, Syaikh Hammaad bin Muhammad al-Ansari. Pada beberapa malam, aku menghadiri majelis Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz di Masjid Nabawi (di Madinah) pada pelajaran Sahih Muslim. Aku juga menghadiri majelis Syaikh al-Albani, yang dikhususkan untuk mahasiswa, dalam rangka untuk belajar dari dia. Saat aku tinggal di Mekah, aku mengajar sejumlah penuntut ilmu berupa kitab Qathrun Nada dan at-Tuhfah as-Saniyyah. Dan ketika aku di Madinah, aku mengajar beberapa orang kitab at-Tuhfah as-Saniyyah di Masjid Nabawi. Kemudian aku berjanji kepada saudara muslimku bahwa aku akan membuka kelas hadits Jaami’ (Sunan) at-Tirmidzi, Qathrun Nada dan al-Ba’ith-ul-Hadits untuk mereka di rumahku pada ba'da ‘Ashr.
 Maka gelombang besar da'wah menyebar dari Madinah, yang memenuhi dunia dalam kurun waktu enam tahun. Ada beberapa muhsinin yang mengambil peran dalam pembiayaan, sementara Muqbil bin Hadi dan saudara-saudara muslimnya adalah orang-orang yang mengambil tugas mengajar saudara-saudara sesama mereka. Seperti untuk bepergian dengan tujuan berda'wah kepada Allah di seluruh wilayah Kerajaan, maka ini dipikul bersama semua saudara –penuntut ilmu- sehingga dia dapat mendapat ilmu dan memberi manfaat kepada yang lainnya. Dan kepada orang awam sehingga bisa belajar, sedemikian rupa sehingga banyak orang awam mendapat manfaat dan mulai mencintai da'wah salafi.
 Seorang saudara muslim kami dari kalangan penuntut ilmu adalah seorang Imam masjid di Riyadh. Suatu ketika beberapa orang berilmu mendebatnya dalam pemakaian sutrah. Maka dia berkata: “Kami tidak dapat menerangkannya di depanmu, tetapi demi Allah, tak seorang pun kecuali orang awam akan berdiri untuk mengajarkanmu hadits tentang sutrah.” Lalu dia memanggil ikhwan dari kalangan awam yang mencintai da'wah dan telah menghafal hadits tentang sutrah dari kitab “al-Lu’lu wal-Marjan fi mutaffaqa ‘alayhi asy-Syaikhain.” Maka dia berdiri dan meriwayatkan hadits itu, sesudah itu para pendebat merasa malu dan terdiam.
 Setelah ini, fanatikus buta dan ulama yang jelek mulai menata pergerakannya, dan alasan untuk ini membingungkan fanatikus buta, yang dianggap ulama di mata manusia, adalah karena kapan pun mereka bertemu pemuda penuntut ilmu dari kalangan murid kami, dan mereka memakai hadits sebagai dalil, murid ini akan berkata kepada mereka: “Siapakah yang meriwayatkan hadits itu?” Dan hal ini sesuatu yang tidak biasa bagi mereka. Lalu dia akan berkata kepada mereka: “Apa derajat hadits itu?” Dan hal ini sesuatu yang tidak biasa bagi mereka. Maka ini akan memalukan mereka di depan manusia. Dan kadang murid ini akan berkata: “Ini hadits yang lemah. Ada ini dan itu di rantai periwayatannya dan dengannya derajatnya menjadi lemah.” Maka setelah mereka mendengarnya, seolah-olah bumi menyempit bagi fanatikus buta. Dan kemudian mereka keluar menyebarkan kebohongan bahwa para murid ini adalah Khawarij, padahal sebenarnya ikhwan ini bukan dari Khawarij yang menghalalkan menumpahkan darah Muslimin dan yang menganggap Muslimin menjadi kafir akibat melakukan perbuatan dosa.
 Namun, terjadi beberapa kesalahan pada cara dari beberapa ikhwah yang baru, dan ini disebabkan bagi pemula hampir selalu kewalahan dalam mengendalikan semangatnya yang berlebihan. Pada waktu itu, saat aku sedang menyiapkan disertasi program studiku, ketika tiba-tiba pada suatu malam, sebelum aku tahu apa yang terjadi, mereka menangkapku dan menangkap hampir seratus lima puluh orang lainnya. Beberapa orang berhasil melarikan diri, tetapi bumi bergetar antara mereka yang menentang dan mereka yang setuju dengan penangkapan. Kami dipenjara selama satu bulan atau satu bulan setengah. Setelah itu kami dibebaskan, alhamdulillah. Tak lama setelah ini, risalah-risalah dari Juhaymaan[2] diterbitkan dan sekelompok dari kami ditahan lagi. Selama interogasi, mereka bertanya kepadaku: "Di manakah orang yang menulis ini?" Apa, Juhaymaan tidak bisa menulis? Jadi aku membantah ini, dan Allah tahu bahwa aku tidak menulis itu, juga aku tidak membantu dalam setiap bagian dari itu. Tapi setelah tinggal di penjara selama tiga bulan, perintah dibuat bagi, orang asing akan dideportasi.
Aku akan menyebutkan beberapa contoh dari mereka, yang aku berdoa kepada Allah untuk memberikan pahala kepada mereka, salah satunya adalah ketika aku mengalami perlawanan sengit di Masjid al-Hadi karena aku memalingkan manusia dari da'wah Syi'ah di sana. Maka beberapa pria dari Wadi'ah dan lainnya berdiri mendukungku sampai pada titik di mana Allah menyelamatkanku melalui tangan mereka. Syi'ah ingin menguasaiku. Ini pada masa Ibrahim al-Hamdi. Dan orang-orang jahat dari pengikut Komunis dan Syi'ah mengangkat kepala-kepalanya dan menjebloskanku ke penjara selama sebelas hari di bulan Ramadhan. Sekitar limapuluh pemuda Wadi’ah kemudian mendatangiku di penjara selama beberapa malam, sementara seratus limapuluh pria lainnya juga mendatangi pengurus penjara pada malam-malam itu, sedemikian rupa hingga pengurus penjara bosan dan melepaskanku, alhamdulillah.
Contoh lainnya adalah saat musuh da'wah kadang-kadang memasuki Dammaj dengan senjata mereka, maka penduduk Dammaj kemudian mengusir mereka dan mereka dipaksa pergi dengan kehinaan.
Contoh selainnya adalah saat aku safar . Ketika aku berkata: “Aku akan safar”, mereka akan saling bersaing, semoga Allah menjaga mereka, berusaha mendampingi dan mengawalku. Maka kadang-kadang kami safar dalam rombongan yang terdiri 15 mobil!
Selama masa-masa itu, da’wah berkembang secara luar biasa karena, alhamdulillah, aku mulai beranjak tua. Mungkin pada saat itu aku telah berusia sekitar 62 tahun. Maka itu adalah suatu ujian dan nasihat dari mereka yang mencintai da’wah untuk mendorongku bersabar dan tidak menyibukan diri kepada musuh, yang mereka tidak punya apa pun kecuali penghinaan dan pelecehan.
Juga, disebabkan kesibukanku mengajar, menulis dan berda'wah, aku tidak punya waktu untuk mengurusi musuh. Maka biarkan mereka berkata apa yang mereka inginkan, karena banyaknya dosa-dosaku, dan semoga dengan adanya fitnah ini, dosa-dosaku akan diampuni dan kemudian ditimpakan kepada pundak mereka.
Riwayat Pencarian Ilmu:
 Aku dulu belajar di sekolah sampai menamatkannya. Kemudian waktu berlalu tanpa aku mencari ilmu karena saat itu tidak ada orang yang mendorongku atau membantuku dalam mencari ilmu. Dan aku terbiasa mencintai mencari ilmu. Maka aku mencarinya di Masjid al-Hadi akan tetapi aku tidak dibantu di sana. Setelah beberapa lama, aku meninggalkan negaraku (Yaman) dan pergi ke tanah suci (Mekah dan Madinah) dan Najed. Di sana aku kemudian mendengarkan penceramah dan tersentuh isinya. Maka aku minta nasihat kepada beberapa penceramah mengenai kitab apa yang sebaiknya aku beli? Mereka menasihatiku untuk memiliki Sahih al-Bukhari, Bulugh al-Maram, Riyadh as-Shalihin, dan Fath al-Majid syarah Kitab at-Tauhid. Dan mereka memberiku salinan materi dari pelajaran tentang tauhid.
 Pada masa itu, aku bekerja sebagai penjaga keamanan sebuah bangunan di Mekah. Dan kemudian aku menekuni kitab-kitab itu, dan isinya terekam di kepalaku karena masyarakat di negaraku mengamalkan apa-apa yang bertentangan dengan isi kitab-kitab itu, terutama Fath al-Majid. Lalu waktu berjalan, aku kembali ke negaraku dan mulai mendebat apa pun yang aku lihat berlawanan dengan isi dari kitab-kitab itu, seperti berkurban kepada selain Allah, membangun cungkup di atas kuburan, dan berdoa kepada mayit. Maka berita ini berkembang sampai didengar orang-orang Syi'ah dan mereka mulai mengecam apa-apa yang aku yakini. Satu dari mereka berkata (dari hadits): “Barang siapa murtad, maka bunuhlah dia.” Yang lainnya menyurati keluargaku dengan perkataan: “Jika kalian tidak menjaganya, kami akan memenjarakannya!”
 Akan tetapi setelah itu, mereka setuju membolehkanku masuk Masjid al-Hadi dalam rangka belajar bersama mereka, sehingga mereka bisa (mungkin) menghapus 'kesesatan' yang melekat di hatiku. Maka kemudian. aku diterima belajar bersama mereka di Masjid al-Hadi. Ketua bidang pendidikannya adalah Hakim Muthahir Hanasy. Aku belajar kitab al-‘Aqd ats-Tsamin dan ats-Tsalatsin Mas’alah, diiringi syarah oleh Habis. Seorang dari guru-guru yang mengajariku di sana ialah Muhammad bin Hasan al-Mutamayyiz. Suatu saat kami berdiskusi tentang topik melihat Allah di akhirat, maka dia segera mengejek dan mentertawakan Ibnu Khuzaimah dan Imam-imam Ahlus Sunnah lainnya, akan tetapi aku menyembunyikan aqidahku. Bahkan saat itu aku terlalu lemah/tidak berani untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiriku saat shalat, dan aku shalat dengan tanganku terlepas di sisi tubuhku (yakni tidak bersedekap, membiarkan lepas seperti shalatnya pengikut Syi'ah). Kami mempelajari teks al-Azhar sampai kepada bab perkawinan.
 Aku juga mempelajari penjelasan hukum-hukum warisan dari sebuah kitab besar di atas tingkat dasar, tetapi aku tidak mendapat manfaat darinya. Maka aku menilai bahwa kitab-kitab yang dipelajari tidak bermanfaat, kecuali kitab-kitab Nahwu/Grammar, karena aku belajar al-Ajrumiyyah dan Qathrun Nada bersama mereka. Kemudian aku meminta kepada seorang Hakim, Qasim bin Yahya asy-Syuwayl, untuk mengajariku Bulugh al-Maram. Maka kami memulainya, tetapi lalu kami tidak bersepakat pada sesuatu, maka kami meninggalkannya.. Ketika aku melihat kitab-kitab yang diajarkan adalah berasal dari lingkungan Syi'ah dan Muta'zilah, aku memfokuskan hanya belajar kitab-kitab Nahwu. Maka aku belajar Qathrun Nada beberapa kali kepada Isma’il al-Hatbah, semoga Allah merahmatinya, di masjid di mana aku tinggal dan shalat di sana. Dan dia memberikan banyak waktu kepada kami dan perhatian. Satu waktu, Muhammad bin Huriyyah datang ke masjid dan aku menasihatinya agar meninggalkan astrology (tanjim). Maka dia mengajak manusia di sana untuk mengusirku dari kelas, akan tetapi mereka membelaku dan dia kemudian diam. Beberapa orang Syi'ah menghampiriku ketika aku sedang belajar Qathrun Nada dan mengatakan sesuatu dengan makna bahwa pendidikan tidak akan memberikan pengaruh kepadaku. Tetapi aku tetap tenang dan mengambil manfaat dari kitab-kitab Nahwu. Aku melakukannya sampai revolusi mulai di Yaman, dan kami meninggalkan negara kami, dan menetap di Najran Saudi Arabia.
 Di sana aku belajar bersama Abul-Husayn Majd-ud-Deen al-Mu’id dan mengambil manfaat darinya terutama dalam bahasa Arab. Aku hidup di Najran selama 2 tahun. Lalu saat aku yakin bahwa peperangan antara Partai Republik dan Partai Raja (di Yaman) adalah demi keduniaan, aku memutuskan pergi ke tanah suci (Mekah dan Madinah) dan ke Najed. Aku tinggal di Najed selama satu setengah bulan di madrasah penghafalan al-Qur'an, yang ditangani Syaikh Muhammad bin Sinan al-Hada’i. Dia sangat ramah kepadaku karena dia melihatku bersemangat mengambil manfaat ilmu. Dan dia menasihatiku untuk menetap sementara sampai dia dapat memasukkanku ke Islamic University (of Madeenah).
 Akan tetapi lingkungan di Riyadh mempengaruhiku dan aku memutuskan pergi ke Mekah. Aku bekerja di siang hari ketika ada pekerjaan, dan aku menuntut ilmu pada malam hari, menghadiri majelis Syaikh Yahya bin ‘Utsman al-Pakistani pada pelajaran Tafsir Ibnu Katsir, Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim. Aku beranjak kepada beberapa kitab lainnya dan di sana aku berjumpa dengan dua Syaikh yang mulia dari para ulama Yaman:Pertama: Hakim Yahya al-Asywal. Aku belajar Subul as-Salam ash-Shan’ani dengannya dan dia akan mengajariku apa pun topik yang aku tanyakan. Kedua: Syaikh ‘Abdur-Razzaq asy-Syahizhi al-Muhwayti. Dia juga akan mengajariku apa pun topik yang aku tanyakan.
 Kemudian ketika dibuka Ma'had al-Haram di Mekah dan aku mengikuti ujian masuk bersama sekelompok pelajar, dan aku diterima, alhamdulillah. Yang terkenal dari guru-guru kami di sana adalah Syaikh ‘Abdul-‘Aziz as-Subayyal. Aku, bersama dengan sejumlah pelajar Ma'had, juga belajar kepada Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Humayd, semoga Allah merahmatinya, kitab at-Tuhfah as-Saniyyah setelah ‘Isyaa di Masjid al-Haram. Dia, semoga Allah merahmatinya, membawakan banyak manfaat dari syarah Ibnu ‘Aqeel dan para ulama lainnya. Pelajaran ini melebihi tingkat pengetahuan rekan-rekanku, maka mereka menyelinap pergi sehingga dia menghentikannya. Aku juga belajar bersama dengan sekelompok murid Syaikh Muhammad as-Subayyal, semoga Allah merahmatinya, pada bab hukum-hukum warisan. Setelah tinggal beberapa lama di Ma'had al-Haram, aku pergi ke keluargaku di Najran. Lalu aku memboyong mereka untuk hidup denganku di Mekah. Kami menetap di sana bersama-sama selama periode belajarku di Ma'had dan di Masjid al-Haram, yang berlangsung selama enam tahun.
 Berkah dari menuntut ilmu di masjid telah diketahui. Jangan bertanya tentang lingkungan yang kondusif dan kedamaian yang kami rasakan ketika di masjid. Nabi -صلى الله عليه وسلم- telah berkata kebenaran saat beliau berkata: “Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah-rumah Allah (masjid). Mereka membaca al-Qur`an dan saling mempelajarinya (bersama-sama) di antara mereka, melainkan (akan) turun ketenangan atas mereka, mereka akan diliputi rahmat, dan para Malaikat (hadir) mengelilingi mereka, serta Allah menyebutkan (nama-nama) mereka di hadapan (para Malaikat) yang berada di sisi-Nya.” Maka aku menghabiskan siang hari dengan belajar di Ma'had, dan semua pelajaran menguatkan iman dan agamaku. Kemudian dari ba'da Ashar sampai ba'da ‘Isya, aku pergi ke Masjid al-Haram dan minum air Zam-zam, seperti Nabi -صلى الله عليه وسلم- katakan: "Sesungguhnya, air tersebut bisa menjadi makanan yang mengenyangkan dan bisa sebagai obat penyakit." Dan kami berkesempatan mendengarkan para da’i yang mendatangi Mekah dari berbagai penjuru negeri saat melaksanakan ibadah haji atau umroh.
 Salah seorang guru yang kami belajar di Masjid al-Haram pada waktu antara Maghrib dan ‘Isya ialah Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Rasyid an-Najdi, penulis kitab “Taysir-ul-Wahyain fil-Iqtishar ‘alal-Qur’ani was-Sahihain”, yang dia mempunyai suatu kesalahan yang kami tidak menyetujuinya. Dia, semoga Allah merahmatinya, berkata: “Hadits-hadits Sahih yang tidak ditemukan pada kitab Sahihain dapat dihitung dengan jari seseorang." Pernyataan ini terekam di benakku karena aku berkeberatan atasnya. Ini adalah semua jalan sampai aku memutuskan untuk menulis "As-Sahih-ul-Musnad mimmaa laysa fis-Sahihain”, setelahnya aku tambah yakin akan kesalahan pernyataannya, semoga Allah merahmatinya. Bagaimanapun, dia seorang muwahid, yang mempunyai ilmu yang kuat di bidang ilmu hadits dan mampu membedakan yang sahih dari yang lemah dan yang cacat dari yang sehat yang berkaitan dengan ilmu hadits. Apa yang mengagumkanku tentangnya ialah bahwa dia memperingatkan manusia dari taqlid (fanatik buta), dia menulis risalah berjudul "At-Tawaaghit-ul-Muqanna". Maka pemerintah, dan juga para ulama senior, menduga bahwa dia membidik mereka melalui kitabnya. Maka Panitia Para Ulama Senior berkumpul bersama untuk mendebatnya. Mereka berkata: “Apakah yang engkau maksudkan di dalam kitabmu adalah kami dan pemerintah?” Maka dia menjawab: “Bila engkau merasa bahwa engkau mempunyai karakteristik yang aku sebutkan di kitabku, maka itu termasuk engkau. Dan bila engkau tidak merasa bahwa engkau mempunyai karakteristik yang aku sebutkan di kitabku, maka itu tidak termasuk engkau.” Sesudahnya, kitab itu dilarang beredar di Kerajaan. Aku diberitahu tentang hal ini. Suatu malam, dia diminta untuk mengajar, tetapi seolah-olah ini hanya untuk mengetesnya. Maka dia memulai pelajaranya dengan perkataan Allah: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya [Maksudnya: pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada kesesatan]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." [Surat al-A’raaf: 3] Dia melanjutkan sejumlah ayat sebagai dalil larangan taqlid (fanatik buta). Sesudah ini, dia dilarang mengajar di Masjid al-Haram, dan kita minta pertolongan kepada Allah.
 Dan seorang dari guru-guruku di Masjid al-Haram Mekah yang aku mengambil manfaat darinya adalah Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah as-Sumali, yang aku hadiri majelisnya sekitar lebih dari tujuh bulan. Dan dia adalah ayat (tanda nyata) di bidang ilmu perawi hadits yang dipakai Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim). Aku mendapat manfaat yang sangat besar dari dirinya dalam ilmu hadits. Alhamdulillah, sejak awal aku mulai mencari ilmu, aku tidak mencintai apa pun selain ilmu Kitab dan Sunnah.
 Setelah aku menyelesaikan tingkat menengah dan atas di Ma'had al-Haram Mekah, dan setelah menamatkan semua pelajaran agama, aku pindah ke Madinah masuk Islamic University di sana. Mayoritas dari kami dimasukkan ke Fakultas Da’wah dan Ushuluddin. Yang paling terkemuka yang mengajar kami di sana: Syaikh as-Sayyid Muhammad al-Hakim dan Syaikh Mahmud ‘Abdul-Wahhab Fa’id, keduanya dari Mesir. Saat musim liburan tiba, aku kawatir waktu berlalu dengan sia-sia maka aku masuk ke Fakultas Syari’ah, karena dua alasan, yang pertama untuk mencari ilmu. Yang kedua karena ada beberapa pelajaran yang terpisah sementara yang lainnya bisa digabungkan. Jadi itu seperti pengulangan dari apa yang kita pernah pelajari di Fakultas Dakwah. Aku menyelesaikan keduanya, alhamdulillah, dan aku mendapat dua gelar/ijazah (Lc., setara S1). Meskipun, alhamdulillah, tujuanku tidak mencari ijazah; penghargaan yang paling bermanfaat menurutku adalah mendapat ilmu.
 Pada tahun yang sama ketika aku menamatkan studi di dua fakultas, program lanjutan dibuka di Islamic University, yang disebut program pasca sarjana/magister (setara S2). Maka aku mengikuti ujian wawancara dan diterima, alhamdulillah. Program studinya adalah ilmu hadits. Alhamdulillah, aku mempelajari bidang yang paling aku cintai. Yang paling menonjol dari mereka yang mengajar kita di sana adalah Syaikh Muhammad al-Amin al-Misri, semoga Allaah merahmatinya, Syaikh as-Sayyid Muhammad al-Hakim al-Misri, dan pada periode akhir masa studiku, Syaikh Hammaad bin Muhammad al-Ansari. Pada beberapa malam, aku menghadiri majelis Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz di Masjid Nabawi (di Madinah) pada pelajaran Sahih Muslim. Aku juga menghadiri majelis Syaikh al-Albani, yang dikhususkan untuk mahasiswa, dalam rangka untuk belajar dari dia. Saat aku tinggal di Mekah, aku mengajar sejumlah penuntut ilmu berupa kitab Qathrun Nada dan at-Tuhfah as-Saniyyah. Dan ketika aku di Madinah, aku mengajar beberapa orang kitab at-Tuhfah as-Saniyyah di Masjid Nabawi. Kemudian aku berjanji kepada saudara muslimku bahwa aku akan membuka kelas hadits Jaami’ (Sunan) at-Tirmidzi, Qathrun Nada dan al-Ba’ith-ul-Hadits untuk mereka di rumahku pada ba'da ‘Ashr.
 Maka gelombang besar da'wah menyebar dari Madinah, yang memenuhi dunia dalam kurun waktu enam tahun. Ada beberapa muhsinin yang mengambil peran dalam pembiayaan, sementara Muqbil bin Hadi dan saudara-saudara muslimnya adalah orang-orang yang mengambil tugas mengajar saudara-saudara sesama mereka. Seperti untuk bepergian dengan tujuan berda'wah kepada Allah di seluruh wilayah Kerajaan, maka ini dipikul bersama semua saudara –penuntut ilmu- sehingga dia dapat mendapat ilmu dan memberi manfaat kepada yang lainnya. Dan kepada orang awam sehingga bisa belajar, sedemikian rupa sehingga banyak orang awam mendapat manfaat dan mulai mencintai da'wah salafi.
 Seorang saudara muslim kami dari kalangan penuntut ilmu adalah seorang Imam masjid di Riyadh. Suatu ketika beberapa orang berilmu mendebatnya dalam pemakaian sutrah. Maka dia berkata: “Kami tidak dapat menerangkannya di depanmu, tetapi demi Allah, tak seorang pun kecuali orang awam akan berdiri untuk mengajarkanmu hadits tentang sutrah.” Lalu dia memanggil ikhwan dari kalangan awam yang mencintai da'wah dan telah menghafal hadits tentang sutrah dari kitab “al-Lu’lu wal-Marjan fi mutaffaqa ‘alayhi asy-Syaikhain.” Maka dia berdiri dan meriwayatkan hadits itu, sesudah itu para pendebat merasa malu dan terdiam.
 Setelah ini, fanatikus buta dan ulama yang jelek mulai menata pergerakannya, dan alasan untuk ini membingungkan fanatikus buta, yang dianggap ulama di mata manusia, adalah karena kapan pun mereka bertemu pemuda penuntut ilmu dari kalangan murid kami, dan mereka memakai hadits sebagai dalil, murid ini akan berkata kepada mereka: “Siapakah yang meriwayatkan hadits itu?” Dan hal ini sesuatu yang tidak biasa bagi mereka. Lalu dia akan berkata kepada mereka: “Apa derajat hadits itu?” Dan hal ini sesuatu yang tidak biasa bagi mereka. Maka ini akan memalukan mereka di depan manusia. Dan kadang murid ini akan berkata: “Ini hadits yang lemah. Ada ini dan itu di rantai periwayatannya dan dengannya derajatnya menjadi lemah.” Maka setelah mereka mendengarnya, seolah-olah bumi menyempit bagi fanatikus buta. Dan kemudian mereka keluar menyebarkan kebohongan bahwa para murid ini adalah Khawarij, padahal sebenarnya ikhwan ini bukan dari Khawarij yang menghalalkan menumpahkan darah Muslimin dan yang menganggap Muslimin menjadi kafir akibat melakukan perbuatan dosa.
 Namun, terjadi beberapa kesalahan pada cara dari beberapa ikhwah yang baru, dan ini disebabkan bagi pemula hampir selalu kewalahan dalam mengendalikan semangatnya yang berlebihan. Pada waktu itu, saat aku sedang menyiapkan disertasi program studiku, ketika tiba-tiba pada suatu malam, sebelum aku tahu apa yang terjadi, mereka menangkapku dan menangkap hampir seratus lima puluh orang lainnya. Beberapa orang berhasil melarikan diri, tetapi bumi bergetar antara mereka yang menentang dan mereka yang setuju dengan penangkapan. Kami dipenjara selama satu bulan atau satu bulan setengah. Setelah itu kami dibebaskan, alhamdulillah. Tak lama setelah ini, risalah-risalah dari Juhaymaan[2] diterbitkan dan sekelompok dari kami ditahan lagi. Selama interogasi, mereka bertanya kepadaku: "Di manakah orang yang menulis ini?" Apa, Juhaymaan tidak bisa menulis? Jadi aku membantah ini, dan Allah tahu bahwa aku tidak menulis itu, juga aku tidak membantu dalam setiap bagian dari itu. Tapi setelah tinggal di penjara selama tiga bulan, perintah dibuat bagi, orang asing akan dideportasi.
[2] Editor: Cerita ini mengacu pada Juhaymaan bin Muhammad al-'Utaybi, seorang yang menyimpang dari Arab Saudi yang mengambil alih Masjid al-Haram Mekah bersama ratusan pengikutnya pada 1 Muharram 1400H (20-11-1979), dan menguasainya selama beberapa hari. Kemudian para ulama senior berfatwa memperbolehkan penggunakan kekuatan di tempat suci Ka'bah untuk membebaskannya. Pasukan Kerajaan Saudi (dibantu Pakistan dan Perancis) berhasil menundukkan mereka dalam waktu dua pekan, setelah banyak darah tertumpah dan korban hilang dari tentara pemberontak dan Kerajaan. Para pemberontak yang tersisa yang tertangkap kemudian dihukum pancung. Syaikh al-Albani (rahimahullahu) menyebutkan Juhaymaan ini dalam kitabnya ash-Shahihah (5 / 872), mengatakan: "... Dan seperti para pengikut Juhaymaan Saudi, yang menyebabkan fitnah di Masjid al-Haram di Makkah di awal 1400-an (Hijriyah). Dia mengklaim bahwa Mahdi yang ditunggu sedang bersamanya dan mencari dari jama'ah yang hadir di Masjid untuk memberinya bai'at (kesetiaan). Beberapa orang berpikiran pendek, lalai dan jahat menjadi pengikutnya. Kemudian Allah mengakhiri fitnah mereka setelah mereka menumpahkan banyak darah umat Islam."
Semoga kisah ini menjadi peringatan bagi mereka yang menuduh Syaikh Muqbil beraqidah Khawarij dan pengikut Juhaiman. Seperti yang disinyalir datang dari Muhammad bin Hadi dan Abdullah al-Bukhari. Allahu musta’an. Hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah.
Semoga kisah ini menjadi peringatan bagi mereka yang menuduh Syaikh Muqbil beraqidah Khawarij dan pengikut Juhaiman. Seperti yang disinyalir datang dari Muhammad bin Hadi dan Abdullah al-Bukhari. Allahu musta’an. Hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah.
 Ketika aku tiba di Yaman, aku kembali ke desaku dan tinggal di sana sambil mengajar al-Qur'an kepada anak-anak. Sebelum aku mengetahuinya, sepertinya seluruh dunia dalam pertempuran besar melawanku. Seolah-olah aku telah keluar untuk menghancurkan negara, agama dan pemerintah. Pada waktu itu, aku tidak mengenal seorang pemimpin atau kepala kabilah. Maka aku berkata: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." Ketika keadaan menjadi berat, aku pergi ke San’a atau ke Haasyid atau ke Dzammar, dan juga ke Ta’iz, Ibb dan Hudaydah untuk berda’wah dan menziarahi ikhwah Muslim.
 Setelah beberapa hari, beberapa muhsinin mengirim perpustakaanku dari Madinah. Mereka mengirim kitab-kitabku ke Sa'adah di mana kepala pengiriman di sana adalah orang yang benci kepada Sunnah. Beberapa rekan kami pergi untuk meminta kitab-kitab dari dia, tapi dia berkata: "Datanglah kembali setelah Zhuhur, Allah berkendak." Tapi dia tidak kembali setelah Zhuhur. Sebaliknya, beberapa Syi'ah berkumpul dan meminta pengurus untuk menyita kitab-kitabku karena kata mereka itu adalah kitab-kitab Wahabbi! Jangan tanya tentang ongkos biaya, kesulitan dan ketidakadilan yang terjadi kepadaku sebagai akibat dari mencoba untuk mendapatkan kembali kitab-kitabku! Banyak ikhwah dari penduduk negaraku melakukan usaha besar untuk mengusahakan ini, termasuk Syaikh 'Abdullah bin Husain al-Ahmar, Syaikh Hazaa' Dab'aan, pengurus Pusat Bimbingan dan Konseling, seperti Hakim Yahya al-Fasayyal, semoga Allah merahmatinya, dan saudara 'Aa'id bin' Ali Mismaar. Setelah kesulitan yang panjang, orang-orang Sa'adah mengirim telegram kepada Presiden 'Ali bin' Abdillaah bin Shalih, sehingga dia menugaskan kasus ini kepada Hakim 'Ali as-Samaan. Hakim mengirimiku surat dan berjanji bahwa dia akan menyerahkan perpustakaanku. Dan dia berkata: "Orang-orang Sa'adah yang sangat keras. Mereka menyebut para ulama San'a itu kafir. "Jadi aku pergi ke San'a untuk mendapatkan kitab-kitabku. Allah menetapkan bahwa kitab-kitabku tiba di sana sementara Hakim Ali as-Samaan ada di luar negeri pada suatu tugas. Jadi ketika beberapa ikhwah pergi untuk memintanya, Kepala Kementrian Wakaf mengatakan kepada mereka: "kitab-kitab ini harus diperiksa." Jadi beberapa saudara Muslim kami di Pusat Bimbingan dan Konseling dimobilisasi dan pergi untuk memintanya. Lalu mereka berkata: "kitab-kitab ini berada di bawah yurisdiksi kita. Kita harus memeriksanya, sehingga apapun yang benar, kita akan menyerahkan ke al-Wadi'i dan apa pun yang melanggar agama, kita akan menahannya bersama kita." Jadi. dengan melakukan ini, mereka menemukan bahwa kitab-kitab itu sebenarnya berisi agama yang murni dan menyerahkanya kepadaku tanpa memeriksanya, semoga Allah memberikan pahala kepada mereka.
 Aku membawa banyak kitab ke negaraku, alhamdulillah. Dan keluarga dekatku, semoga Allah memberikan pahala kepada mereka, membangun sebuah perpustakaan kecil dan sebuah masjid kecil. Dan mereka berkata: "Kami akan shalat Jum'at di sini untuk menghindari kesulitan dan masalah." Kadang-kadang kita shalat di sana dengan hanya enam orang yang hadir. Suatu waktu Gubernur Hadi al-Hasyisyi memintaku, jadi aku pergi ke Syaikh Qa'id Majli, semoga Allah merahmatinya, yang kemudian memanggilnya dan berkata: "Apa yang Anda inginkan dari al-Wadi'i?" Dia berkata: "Tidak ada, kecuali untuk mengenal dia." Maka dia berkata: "Kami akan mencari dia di Ma'hadnya." Dalam contoh lain, beberapa Pemimpin lain memintaku dan Husain bin Qaa'id Majli pergi denganku untuk menemuinya. Dia (Majli) mulai berbicara menentang Syi'ah dan menjelaskan kepadanya bahwa kita berda'wah kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dan bahwa Syi'ah membenci kita karena mereka takut bahwa kebenaran akan terungkap tentang mereka, sehingga Pemimpin ini mengatakan: "Memang, Syi'ah telah mencemari sejarah Yaman, sehingga selama da'wah anda adalah seperti yang anda katakan itu, kemudian menyeru untuk itu, maka kami bersama anda."
 Setelah ini aku menghabiskan beberapa waktu dengan perpustakaanku. Hanya beberapa hari telah berlalu ketika beberapa saudara Mesir datang dan kami mulai membuka kelas pada beberapa kitab hadits dan bahasa Arab. Setelah ini, para penuntut ilmu terus datang dari Mesir, Kuwait, tanah suci (Mekah dan Madinah), Najed, 'Aden, Hadhramaut, Aljazair, Libya, Somalia, Belgia, dan negara-negara Muslim dan non-Muslim lainnya. Jumlah murid sekarang sudah mencapai 600-700 orang, di antaranya sekitar 170 keluarga.[3] Dan Allah adalah Dzat yang memberi mereka rezeki. Dan semua ini bukan karena kekuatan atau kekuasaan kita, atau karena jumlah ilmu yang kita miliki atau karena keberanian atau kefasihan kita dalam berbicara. Sebaliknya, ini adalah sesuatu yang Allah kehendaki terjadi. Maka Dia adalah Ilah Yang Satu, alhamdulillah, yang mengkaruniai kita berkah ini.
 Setelah beberapa hari, beberapa muhsinin mengirim perpustakaanku dari Madinah. Mereka mengirim kitab-kitabku ke Sa'adah di mana kepala pengiriman di sana adalah orang yang benci kepada Sunnah. Beberapa rekan kami pergi untuk meminta kitab-kitab dari dia, tapi dia berkata: "Datanglah kembali setelah Zhuhur, Allah berkendak." Tapi dia tidak kembali setelah Zhuhur. Sebaliknya, beberapa Syi'ah berkumpul dan meminta pengurus untuk menyita kitab-kitabku karena kata mereka itu adalah kitab-kitab Wahabbi! Jangan tanya tentang ongkos biaya, kesulitan dan ketidakadilan yang terjadi kepadaku sebagai akibat dari mencoba untuk mendapatkan kembali kitab-kitabku! Banyak ikhwah dari penduduk negaraku melakukan usaha besar untuk mengusahakan ini, termasuk Syaikh 'Abdullah bin Husain al-Ahmar, Syaikh Hazaa' Dab'aan, pengurus Pusat Bimbingan dan Konseling, seperti Hakim Yahya al-Fasayyal, semoga Allah merahmatinya, dan saudara 'Aa'id bin' Ali Mismaar. Setelah kesulitan yang panjang, orang-orang Sa'adah mengirim telegram kepada Presiden 'Ali bin' Abdillaah bin Shalih, sehingga dia menugaskan kasus ini kepada Hakim 'Ali as-Samaan. Hakim mengirimiku surat dan berjanji bahwa dia akan menyerahkan perpustakaanku. Dan dia berkata: "Orang-orang Sa'adah yang sangat keras. Mereka menyebut para ulama San'a itu kafir. "Jadi aku pergi ke San'a untuk mendapatkan kitab-kitabku. Allah menetapkan bahwa kitab-kitabku tiba di sana sementara Hakim Ali as-Samaan ada di luar negeri pada suatu tugas. Jadi ketika beberapa ikhwah pergi untuk memintanya, Kepala Kementrian Wakaf mengatakan kepada mereka: "kitab-kitab ini harus diperiksa." Jadi beberapa saudara Muslim kami di Pusat Bimbingan dan Konseling dimobilisasi dan pergi untuk memintanya. Lalu mereka berkata: "kitab-kitab ini berada di bawah yurisdiksi kita. Kita harus memeriksanya, sehingga apapun yang benar, kita akan menyerahkan ke al-Wadi'i dan apa pun yang melanggar agama, kita akan menahannya bersama kita." Jadi. dengan melakukan ini, mereka menemukan bahwa kitab-kitab itu sebenarnya berisi agama yang murni dan menyerahkanya kepadaku tanpa memeriksanya, semoga Allah memberikan pahala kepada mereka.
 Aku membawa banyak kitab ke negaraku, alhamdulillah. Dan keluarga dekatku, semoga Allah memberikan pahala kepada mereka, membangun sebuah perpustakaan kecil dan sebuah masjid kecil. Dan mereka berkata: "Kami akan shalat Jum'at di sini untuk menghindari kesulitan dan masalah." Kadang-kadang kita shalat di sana dengan hanya enam orang yang hadir. Suatu waktu Gubernur Hadi al-Hasyisyi memintaku, jadi aku pergi ke Syaikh Qa'id Majli, semoga Allah merahmatinya, yang kemudian memanggilnya dan berkata: "Apa yang Anda inginkan dari al-Wadi'i?" Dia berkata: "Tidak ada, kecuali untuk mengenal dia." Maka dia berkata: "Kami akan mencari dia di Ma'hadnya." Dalam contoh lain, beberapa Pemimpin lain memintaku dan Husain bin Qaa'id Majli pergi denganku untuk menemuinya. Dia (Majli) mulai berbicara menentang Syi'ah dan menjelaskan kepadanya bahwa kita berda'wah kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dan bahwa Syi'ah membenci kita karena mereka takut bahwa kebenaran akan terungkap tentang mereka, sehingga Pemimpin ini mengatakan: "Memang, Syi'ah telah mencemari sejarah Yaman, sehingga selama da'wah anda adalah seperti yang anda katakan itu, kemudian menyeru untuk itu, maka kami bersama anda."
 Setelah ini aku menghabiskan beberapa waktu dengan perpustakaanku. Hanya beberapa hari telah berlalu ketika beberapa saudara Mesir datang dan kami mulai membuka kelas pada beberapa kitab hadits dan bahasa Arab. Setelah ini, para penuntut ilmu terus datang dari Mesir, Kuwait, tanah suci (Mekah dan Madinah), Najed, 'Aden, Hadhramaut, Aljazair, Libya, Somalia, Belgia, dan negara-negara Muslim dan non-Muslim lainnya. Jumlah murid sekarang sudah mencapai 600-700 orang, di antaranya sekitar 170 keluarga.[3] Dan Allah adalah Dzat yang memberi mereka rezeki. Dan semua ini bukan karena kekuatan atau kekuasaan kita, atau karena jumlah ilmu yang kita miliki atau karena keberanian atau kefasihan kita dalam berbicara. Sebaliknya, ini adalah sesuatu yang Allah kehendaki terjadi. Maka Dia adalah Ilah Yang Satu, alhamdulillah, yang mengkaruniai kita berkah ini.
[3] Editor: Pernyataan ini berasal dari edisi kedua dari autobiografinya, yang dicetak pada tahun 1419H (1999M). Saat beliau wafat jumlah murid Darul Hadits Dammaj Yaman sekitar 1500 orang. Sejak itu jumlah ini terus bertambah lebih dari lima kali lipatnya, seperti di masa sekarang ini, 1432H (2011M), yang sekarang dibimbing dan dipimpin oleh Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri, alhamdulillah.
[Akhir dari Penerjemahan Autobiography Syaikh Muqbil]
[Akhir dari Penerjemahan Autobiography Syaikh Muqbil]
Pujian Para Ulama:
Syaikh Muhammad bin Saalih al-‘Utsaimin berkata: “Beritahu dia bahwa aku menganggapnya seorang Mujaddid.”
Syaikh al-Albani berkata: "Maka merendahkan dan meremehkan kedua Syaikh (Rabi dan Muqbil), yang menyeru kepada al-Qur'an dan as-Sunnah dan apa-apa yang Salaf ash-Shalih berada di atasnya, dan yang berperang melawan orang-orang yang menentang manhaj yang benar ini. (Ini adalah perkara yang salah) Hal ini cukup jelas bagi setiap orang, baik itu berasal dari salah satu dari dua jenis orang: entah yang datang dari seseorang yang bodoh atau orang yang mengikuti hawa nafsunya... Jika dia bodoh, maka dia dapat diajari. Tetapi jika dia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, maka kita berlindung kepada Allah dari kejahatannya. Dan kami meminta Allah, Yang Maha Perkasa dan Agung, untuk membimbingnya atau mematahkan punggungnya."[Seri Audio Silsilah al-Huda wan-Nur: 1 / 851]
Syaikh Yahya al-Hajuri meriwayatkan bahwa Syaikh Rabi’ al-Madkhali berkata tentang Syaikh Muqbil: “Dia adalah Mujaddid di negeri Yaman.” dan bahwa dia berkata: "Tidak dapat dijumpai sejak zaman 'Abdur-Razaaq ash-Shan'ani sampai saat ini, seseorang yang membangun da'wah dan menghidupkannya kembali sebagaimana al-Wadi'i.”[4]
[4] Editor: Pernyataan ini diambil dari kitab "Nubdzah Mukhtasarah" milik putri Syaikh Muqbil, Ummu ‘Abdillah (hal. 46). Telah diketahui dalam riwayat bahwa al-Imam 'Abdur-Razaaq ash-Shan'ani –rahimahullahu-, wafat 1182H (1768M), pada zamannya adalah ulama Yaman yang paling banyak dikunjungi pencari ilmu. Demikian juga dengan Syaikh Muqbil –rahimahullahu-.
Dulu pernah diterbitkan dengan berbahasa Inggris di: http://al-ibaanah.com/bios.php?BioID=17
Dulu pernah diterbitkan dengan berbahasa Inggris di: http://al-ibaanah.com/bios.php?BioID=17
Wafatnya:
 Setelah melewati masa yang melelahkan dan penuh pengorbanan, Allah mengkabulkan apa yang menjadi keinginan beliau yaitu tersebarnya da'wah Ahlussunnah wal jama'ah salafiyah di Yaman secara khusus dan di seantero dunia secara umum, banyak manusia -dengan idzin Allah- yang tadinya buta dengan kebenaran kini bisa melihat kebenaran itu dengan terangnya, yang tadinya tertidur kini terjaga, yang tadinya mati kini bangkit dan hidup di bawah naungan sunnah dan tauhid. Walhamdulillah.
 Beliau sebelum meninggalkan dunia yang fana ini menderita beberapa penyakit yang cukup memprihatinkan yang memaksakan diri beliau untuk berobat ke beberapa negara di luar Yaman, yaitu ke Saudi, ke Amerika dan ke Jerman, semua biaya pengobatan tersebut ditanggung oleh Kerajaan Saudi karena mereka merasa memiliki hak untuk memuliakan ulama sunnah. Sebenarnya beliau tidak menginginkan hal itu –pergi ke negeri kafir– bahkan beliau pernah mengatakan di sela-sela sakitnya: "Sungguh kematian lebih aku sukai dari pada kembali ke Amerika", oleh karena itulah beliau banyak berdoa untuk tidak dikembalikan ke Amerika, dan Allah mengkabulkan do'anya.
 Dan di penghujung kehidupan beliau di sela-sela beliau menanti panggilan Allah beliau sering minta dibacakan kitab al-Adzkar dan Riyadhush Shalihin, dan beliau selalu mengulang-ulangi hadits Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah -صلى الله عليه وسلم- berkata: "Janganlah salah seorang kalian mati kecuali dia berbaik sangka kepada Allah." Kemudian beliau menulis wasiat dan di antara isi wasiat tersebut adalah: beliau mengharap untuk dimakamkan di Pemakaman al-Adl, di mana di sana telah dimakamkan para ulama seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu Humaid dll. Akhirnya pada pagi hari Rabu 26-4-1422H beliau pingsan tak sadarkan diri beberapa saat, dan ketika beliau siuman, Syaikh Abdul Aziz al-Juhany mentalqin beliau syahadat di dekat telinganya, maka tampaklah gerakan bibir beliau mengucapkan syahadat, dan terlihat beliau mengulum senyum perpisahan, orang-orang yang di sekelilingnya mengira bahwa beliau tertawa, atau beliau hendak mengucapkan beberapa patah kata, akan tetapi itu ternyata adalah waktu penghabisan beliau di alam fana ini, kemudian dicabutlah rohnya kembali ke Pemiliknya, ketika matahari tenggelam pada tanggal 2 Jumadil Awal 1422H (22-07-2001) dalam usia belum menginjak tujuh puluh tahun. Kemudian dipersiapkan jenazah beliau, dibawalah ke Mekah dan disholatkan di Masjid al-Haram ba'da shalat Shubuh, setelah itu diusung kerandanya ke Pemakaman al-Adl diikuti oleh pengiring yang tak terhitung jumlahnya, di antara mereka adalah Syaikh Rabi', dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Banna, dan Syaikh Shalih bin Abdillah bin Humaid dll.
 Sungguh Syaikh telah meninggalkan warisan yang sangat berharga yang berbarakah, seperti: sejumlah ulama yang tangguh, ribuan penuntut ilmu sunnah yang mumpuni, perpustakaan yang ramai dengan peneliti dan dipenuhi dengan buku-buku pilihan yang selalu menghasilkan para penulis handal, pondok dan masjid yang bersahaja untuk menuntut ilmu dan sunnah, yang dipraktekkan di dalamnya semua sunnah yang bisa diamalkan, semua hal yang berkaitan dengan urusan konsumsi pondok seperti mobil untuk da'wah, atau untuk belanja, tanah area, bangunan asrama dan semua yang berkaitan dengan da'wah beliau jadikan sebagai wakaf. [al-Bayan al-Hasan][5]
[5] Editor: Bagian tulisan tentang wafatnya Syaikh Muqbil diambil dari "Untaian Kata-kata Mutiara" ditulis oleh Abu Turab Saif bin Hadhar al-Jawy. Lihat di: http://aloloom.net/vb/showthread.php?t=2848
* Postingan ini telah mengalami pengeditan redaksional dari sumber aslinya.
Posting-posting Terkait
>>> Autobiografi al-Imam al-Mujaddid Muqbil bin Hadi al-Wadi`i –rahimahullahu- dengan Suaranya Sendiri
>>> Mengenang Perjalanan Dakwah Syaikh Muqbil al-Wadi'i -rahimahullahu- oleh Abu Hazim Muhsin
>>> Keutamaan Darul Hadits Dammaj Yaman -Markiz Masyaikh & Penuntut Ilmu-
>>> Mengenal Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri الشيخ العلامة يحيى بن علي الحجوري حفظه الله
>>> Darul Hadits Dammaj Yaman دار الحديث بدماج - حرسها الله -Sejarah Singkat-
>>> Dammaj dalam foto.
http://islam-itu-mulia.blogspot.com/2011/10/autobiografi-al-imam-al-mujaddid-muqbil.html