Risalah: Zakat Fithri

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيّئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد ألا إلهٰ إلاّ الله وحده لا شريك له، وأشهد أنّ محمّدًا عبده ورسوله
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَات
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fithri sebagai penyucian bagi yang berpuasa dari kesia-siaan dan kekejian, serta makanan bagi orang-orang miskin Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat (‘ied) maka ity adalah zakat yang diterima, barang siapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu adalah termasuk shodaqoh.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَة
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sho’ kurma (kering) atau satu sho’ sya’ir (salah satu jenis gandum) bagi budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum orang-orang keluar melakukan sholat” (HR Bukhory-Muslim)

BAGI SIAPA ZAKAT FITHRI DIWAJIBKAN?
Hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu di atas menjelaskan bahwa kewajiban tersebut berlaku umum bagi setiap muslimin. Tentunya ini berlaku pada orang-orang yang hidup, adapun orang yang telah meninggal atau belum dipastikan hidupnya di dunia (yaitu janin dalam kandungan)[1] tidak terkena kewajiban ini.

SIAPAKAH YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITHRI?
Berdasarkan sebabnya, maka sedekah dan zakat di dalam syari’at Islam, ada yang terkait dengan amalan badan dan ada yang terkait dengan harta yang dimiliki seorang hamba. Adapun zakat fithri maka ia termasuk kepada golongan pertama berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu di atas, dimana Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak merinci hukum berdasarkan harta. Perbedaan ini perlu diketahui karena bolehnya pemberian kepada ashnaf (kelompok-kelompok) yang delapan -sebagaimana Alloh sebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60[2]- adalah hukum yang berlaku bagi zakat harta. Ijma’ (sepakat) para ulama muslimin bahwa yang dimaksud dengan shodaqoh di ayat tersebut adalah zakat harta.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Hal ini apabila (terkait dengan) shodaqoh-shodaqoh harta bukan badan, dengan kesepakatan kaum muslimin” [Majmu’ul Fatawa 25/76]
Adapun zakat fithri, maka zakat ini dikhususkan bagi fakir miskin berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu di atas. Dengan demikian maka ‘amil (pengurus zakat) tidak boleh mengambilnya kecuali jika dia tergolong fakir miskin maka dia boleh mengambil, bukan karena dia ‘amil akan tetapi karena dia miskin. Hal ini sebagaimana kewajiban-kewajiban lain dalam syari’at yang mesti dikeluarkan seorang hamba, terkait amalan badan.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Sesungguhkan shodaqoh fithri sejalan (hukumnya) dengan kaffarroh sumpah, zhihar, pembunuhan serta berhubungan intim di bulan romadhon. Demikian juga  sejalan (hukumnya) dengan kaffarroh haji, karena penyebab semua itu adalah badan bukan harta” [Majmu’ul Fatawa 25/73]
Di atas kondisi inilah amalan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, para shohabat Rodhiyallohu ‘anhum, serta orang-orang setelah mereka.
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu diantara petunjuk beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah pengkhususan orang-orang miskin dengan shodaqoh (fithri) ini. Beliau tidak pernah membaginya kepada ashnaf yang delapan segenggam pun, dan beliau juga tidak pernah memerintahkan untuk itu. Tak seorang pun dari para shohabatnya yang melakukan hal demikian, tidak juga orang-orang yang setelah mereka” [Zaadul Ma’aad 2/12]

APAKAH ORANG MISKIN JUGA WAJIB MEMBAYAR ZAKAT FITHRI?
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan penjelasan yang telah disebutkan, maka zakat ini tidak ada hubungannya dengan kaya atau miskinnya seseorang. Keumuman hadits menuntut setiap jiwa terkena kewajiban untuk mengeluarkannya.
Akan tetapi dalam agama yang hanif tidak ada pembebanan syari’at di luar kemampuan hamba. Karena itu para ulama sepakat bahwa seseorang yang tidak memiliki apa-apa, tidak ada kewajiban baginya untuk mengeluarkan zakat fithri, sebagaimana dinukilkan Imam Ibnul Mundzir Rahimahulloh [Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 6/113]
Para ulama juga memasukkan ke hukum tersebut, orang-orang yang tidak memiliki kelebihan dari makanan pokok pada malam dan siang ‘ied untuk diri dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. [Lihat Fathul ‘Allam 495 dan Ahkamu Zakatil Fithri 80]. Karena orang yang kelaparan di hari ‘ied akibat membayar zakat kondisinya seperti orang yang tidak memiliki apa-apa.

JENIS APA YANG DIKELUARKAN DENGAN ZAKAT FITHRI?
Terdapat hadits kunci dalam masalah ini:
كُنَّا نُخْرِجُ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ، عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ، وَكَبِيرٍ، حُرٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ، صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu kami mengeluarkan zakat fithri –ketika itu Rosululloh Shollallou ‘Alaihi wa Sallam diantara kami- dari setiap anak kecil dan orang besar, merdeka ataupun budak, satu sho’ makanan, atau satu sho’ susu yang dikeringkan, atau satu sho’ sya’ir atau satu sho’ korma kering, atau satu sho’ kismis” (HR Bukhory-Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu)
Pada hadits tersebut Abu Sa’id menyebutkan kata makanan secara umum, kemudian beliau menyebut perincian sebagai contoh yang mereka keluarkan, sehingga tidak ada pembatasan pada jenis tertentu. Hukum asal yang pengeluaran shodaqoh wajib adalah pada apa-apa yang biasa dikonsumsi oleh pemberi shodaqoh. Hal ini sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam masalah kaffaroh:
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُم
“Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu” (QS Al-Ma’idah 89)
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa zakat fithri termasuk ke dalam jenis ini karena keterkaitan pengeluarannya dengan amalan badan. Karena itulah Rosululloh tidak memberatkan shohabat untuk mengeluarkan zakat fithri dengan sesuatu yang tidak biasa mereka konsumsi di negeri tersebut. [Lihat Majmu’ul Fatawa 25/69] Dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Karena itulah zakat fithri boleh dikeluarkan dari jenis makanan pokok suatu negeri, wallohu a’lam.

BOLEHKAH DIGANTI DENGAN UANG?
Di zaman Rosululloh dan para shohabat mereka juga memiliki mata uang yaitu dinar (dari emas) dan dirham (dari perak), akan tetapi mereka tidak mengeluarkannya dengan kedua mata uang tersebut dalam berbagai keadaan. Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah disyari’atkan.
Oleh sebab itulah para ulama menegaskan tidak sahnya penunaian zakat fithri dengan uang. Mulai dari Imam Ahmad (Al-Mughny 4/43), Asy-Syafi’i (Al-Umm 2/72), Al-Khoththoby (Ma’alimus Sunan 2/44), Ibnu Hazm (Al-Muhalla 6/91), Al-Baihaqy (Sunan Kubro 4/189), An-Nawawy (Syarh Shohih Muslim 7/63), Malik dan Ibnul Mundzir (Al-Majmu’ 7/245) serta para ulama terdahulu yang lain, juga yang belakangan seperti Ibnu Baz (Majmu’ul Fatawa Ibnu Baz 14/208-211), Al-‘Utsaimin  (Majalis Syahri Romadhon 327), Al-Wadi’iy (Ijabatus Sa’il 125) Rahimahumullohu Ajma’in [Lihat  Al-Ghonimah 46-54]
Al-‘Allamah Sholih bin Fauzan Hafizhohulloh mengatakan: “Tidak boleh berpaling dari apa yang diwajibkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta mengatakan bolehnya zakat fithri dengan nilainya karena ini adalah penyelisihan terhadap dalil-dalil. Lagi pula shodaqoh fitri termasuk shodaqoh yang ditampakkan, ditimbang dan dikeluarkan di depan orang, dan juga merupakan syi’ar dari syi’ar Islam. Seandainya yang dikeluarkan adalah uang maka sedekahnya tidak tampak, bahkan shodaqoh yang tersembunyi (karena tidak ada kesibukan-kesibukan yang muncul dari model ini, juga shodaqoh uang tak ada bedanya dengan shodaqoh biasa –pen), dengannya tidak tampak danya syi’ar –sampai perkataan beliau-
Maka berpaling kepada uang meluputkan hukum-hukum ini, bersamaan dengan itu semua, ini adalah ijtihad yang menyelisihi dalil. Sebagaimana dimaklumi apabila ijtihad menyelisihi dalil maka jangan menyimpang kepadanya” [Tashilul Ilmam 3/145-14]
Syaikhuna Yahya bin Al-Hajury Hafizhohulloh mengatakan: “Dirham-dirham pada zakat fithri tidak sah. Orang-orang tersbut telah membuat-buat perkara yang tidak merupakan bagian dari agama ini dan bukan perkara yang disyari’atkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dirham dulu ada di zaman mereka dan mereka sangat butuh dengannya untuk memberi pakaian dan perkara-perkara yang mereka butuhkan. Bersamaan dengan itu mereka tidak pernah menunaikan zakat fithri dengan mata uang baik dari emas ataupun perak”. [Ittihaful Kirom 63]

BAHKAN KALAU PEMERINTAH MEWAJIBKANNYA DENGAN UANG? (Atau dengan sistem potong gaji)
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh ditanya dengan pertanyaan seperti ini maka beliau menjawab: “Yang jelas bagiku, apabila seseorang dipaksa untuk mengeluarkan zakat fithri dengan dirham, maka dia mentaati mereka dan jangan memperlihatkan pembangkangan terhadap pemerintah. Adapun urusan antara dia dengan Alloh, maka dia keluarkan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berupa satu sho’ makanan. Karena pengharusan mereka (pemerintah) kepada masyarakat untuk mengeluarkan dirham (uang) adalah pengharusan dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Alloh dan rosul-Nya” [Majmu’ Fatawa Syaikh Al-‘Utsaimin 18/281]

SATU SHO’ SETARA DENGAN BERAPA?
Sebagaimana disebutkan bahwa banyak zakat yang diwajibkan adalah satu sho’[3], sementara Sho’ sendiri terdiri dari empat mudd. Keduanya merupakan takaran penduduk Madinah -yang turun temurun dari zaman nabi-[4]. Mudd sendiri pada asalnya adalah takaran dengan ukuran genggaman dua tangan orang dewasa yang berukuran sedang. Keduanya (Sho’ dan Mudd Nabawy) telah disebutkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ketika beliau mendo’akan keberkahan pada makanan[5] penduduk Madinah:
أَنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ وَدَعَا لَهَا، وَحَرَّمْتُ المَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ مَكَّةَ، وَدَعَوْتُ لَهَا فِي مُدِّهَا وَصَاعِهَا مِثْلَ مَا دَعَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ لِمَكَّة
“Sesungguhnya Ibrohim mengharamkan[6] Makkah dan berdo’a baginya. Sementara aku mengharamkan Madinah sebagaimana Ibrohim mengharamkan Makkah. Serta aku mendo’akannya (Madinah) pada mudd dan sho’nya, sebagaimana Ibrohim mendo’akan Makkah” (Muttafaqun ‘Alaih dari ‘Abdulloh bin Zaid Rodhiyallohu ‘Anhu)
Sering terjadi perbedaan dalam menentukan kadarnya, diantara penyebabnya adalah penghitungannya dengan satuan berat. Perlu diketahui bahwa sho’ dan mudd adalah satuan ukuran volume (seperti gantang dsb), bukan satuan berat. Jadi penyetaraannya ke dalam bentuk liter lebih tepat dari pada penyetaraannya ke satuan kilogram. Satu sho’ air dengan satu sho’ madu tidak sama beratnya, karena perbedaan massa jenisnya.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Ukuran zakat fithri adalah dengan takaran. Sementara takaran berpatokan kepada volume bukan berat. Terkadang sesuatu seberat benda yang volumenya besar sementara ukurannya kecil, apabila benda tersebut bobotnya berat misalnya besi, sementara yang satunya bobotnya ringan. Karena itulah berat kurma kering tidak sama dengan berat gandum (dengan volume yang sama misalnya sama-sama satu liter –pent). Berat gandum tidak akan sama dengan berat beras. Demikian juga berat beras, satu sama lainnya (dengan jenis yang berbeda –pent) tidak mungkin akan sama” [Majmu’ Fatawa Syaikh Al-’Utsaimin 18/289]
Karena itulah ketika Syaikh ‘Utsaimin Rahimahulloh menetapkan beras 2,1 kg yang dikirimkan kepada beliau untuk ditakar, beliau mengatakan: Kami telah menakar beras yang dimasukkan ke dalam karung plastik yang beratnya mencapai 2100 gr, kami mendapatkannya dengan kadar satu sho’ nabawi … dipakai beratnya (yaitu 2,1 kg) sebagai ukuran apabila yang ada di dalam karung (untuk zakat fithri –pent) sama dengan beras tersebut dari sisi berat dan ringannya bobot (massa jenis –pent). Hal tersebut, karena sebagaimana dimaklumi bahwa beratnya bobot mengurangi volume suatu benda, demikian sebaliknya. Jika engkau mengambil satu kilo besi maka volumenya tidak seperti volume kayu, sementara takaran berpatokan kepada volume. Atas dasar ini maka apabila beras (yang mau dikeluarkan) bobot (massa jenisnya)nya lebih berat dari beras yang di karung ini maka wajib untuk menambah kadar beratnya sesuai pertambahan bobot” [Majmu’ Fatawa Syaikh Al-’Utsaimin 18/275]
Makanya berat beras (misalnya) yang ditetapkan ulama untuk pembayaran zakat fithri adalah sekedar pendekatan. “Kadar yang wajib pada zakat fithri bagi setiap pribadi adalah satu sho’ dengan sho’ nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Ukurannya dengan kilo lebih kurang tiga kilo (gram)”. [Fatwa Lajnah Da’imah 1 (9/371)]
Karena itulah, bagi siapa yang mendapatkan sho’ nabawiy atau mengetahui volumenya untuk menggunakannya sebagai acuan. Bagi yang tidak diberi kemudahan maka tidak mengapa memakai acuan yang ditetapkan Lajnah Ad-Da’imah, dan kelebihannya diniatkan sebagai shodaqoh wallohu a’lam.
Faidah: Alhamdulillah saya (penulis) telah menghitung takaran salah satu mudd (dengan memakai mudd milik Akh ‘Imaad Ar-Roimy Hafizhohulloh yang sanadnya sampai ke Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu ‘Anhu) didapatkan ukurannya + 830 ml. Jadi satu sho’nya + 3320 ml. Wallohu a’lam

KAPAN WAKTU DIKELUARKANNYA ZAKAT FITHRI?
Hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhum di awal pembahasan menunjukkan bahwa waktu berakhirnya sebelum ditunaikannya sholat ‘ied.
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Tuntutan dari kedua hadits tersebut, bahwasanya keterlambatannya dari sholat ‘ied tidak dibolehkan, dan            kesempatan pembayaran hilang dengan selesainya sholat. Inilah pendapat yang benar karena tidak terdapat (dalil lain) yang menyelisihi kedua hadits ini, tidak juga ada dalil yang menghapus hukumnya, tidak ada juga terdapat ijma’ yang menolak pendapat dengannya” [Zaadul Ma’ad 2/21-22]
Adapun waktu pengeluarannya boleh 1-2 hari sebelum ‘ied berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya bahwasanya Rosululloh mewajibkan untuk membayar zakat untuk fithr (berbuka/selesai) dari romadhon. Sementara Ibnu ‘Umar menyerahkannya ke para pengumpul zakat. Di akhir hadits disebutkan:
وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْن
“Dahulu mereka (para pengumpul zakat tersebut) memberikannya (kepada penerima) sehari atau dua hari sebelum ‘iedul fithri” (HR Al-Bukhory)
Ibnu Qudamah Rahimahulloh mengatakan: “(Hadits) ini mengisyaratkan kepada perbuatan mereka semua, maka hal itu menjadi ijma’. Karena mendahulukannya (zakat fithri –pen) dengan kadar tersebut tidak membuat luputnya maksud. Sebab zakat tersebut atau sebagiannya bakal tersisa sampai hari ‘ied. Maka hal ini cukup untuk tidak berkeliling dan mencari-cari orang miskin pada hari tersebut. Juga karena shodaqoh fithri tersebut adalah zakat, maka boleh didahulukan (pembayarannya) sebelum adanya (syarat) wajib sebagaimana zakat harta, wallohu a’lam” [Al-Mughny 3/90]
Perlu sedikit catatan untuk perkataan Ibnu Qudamah Rahimahulloh yang terakhir dimana beliau mengatakan: “Juga karena shodaqoh fithri tersebut adalah zakat, maka boleh didahulukan (pembayarannya) sebelum adanya (syarat) wajib sebagaimana zakat harta, wallohu a’lam”
Boleh disini maksudnya: apabila telah terlebih dahulu ditemukan adanya sebab zakat, maka zakat boleh ditunaikan sebelum datang syarat yang mewajibkannya. Sebab adanya zakat harta adalah tercapainya nishob. Dikatakan sebab, karena jika seseorang hartanya sudah sampai senishob, tidak bisa langsung dihukumi terkena zakat. Bisa jadi kena bisa jadi tidak, tergantung kepada ada tidaknya syarat wajibnya. Adapun syarat wajib dikeluarkannya zakat harta adalah: jika harta yang mencapai nishob tersebut telah mencapai setahun ditangan pemiliknya.
Nah, apabila seseorang telah memiliki harta yang sampai senishob namun dia ingin membayar zakat sebelum sampai setahun, maka dibolehkan baginya untuk mengeluarkan zakat. Sebagaimana seseorang yang bersumpah untuk tidak masuk ke sebuah rumah namun dia akhirnya menyesal, maka boleh baginya membayar kaffaroh sumpah sebelum dia masuk ke rumah tersebut. Sebab kaffaroh adalah sumpahnya orang tersebut, sementara syarat wajibnya adalah apabila dia melanggar sumpah (yaitu masuk ke rumah). Dalam kondisi ini dia belum masuk ke rumah sementara boleh baginya untuk membayar kaffaroh.
Adapun jika sebabnya belum ada maka orang tersebut tidak bisa untuk membayar zakat atau kaffaroh, seperti orang yang hartanya belum sampai senishob tapi mau mengeluarkan zakat, atau seperti orang yang belum bersumpah tapi mau membayar kaffaroh?!!
Inilah penerapan kaidah yang masyhur di kalangan ulama:
إن تقديم الشيء على سببه ملغى، وتقديم الشيء على شرطه جائز
“Sesungguhnya pendahuluan sesuatu terhadap sebabnya maka perkara tersebut gugur, sementara pendahuluan sesuatu terhadap syarat wajibnya, maka perkara tersebut hukumnya boleh” [Lihat Asy-Syarhul Mumti’ 6/169, Al-Qowa’id wa Ushulul Jami’ah 82]
Karena itu pendahuluan pembayaran zakat fithri bulan romadhon tidak diperbolehkan karena sebab pengeluarannya belum ada yaitu tenggelamnya matahari akhir romadhon –sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang baru lewat-, sementara syarat wajibnya adalah memiliki kelebihan makanan pokok dari kebutuhan malam dan siang ‘ied –sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Adapun dibolehkannya penunaian sehari atau dua hari sebelum ‘ied, maka hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh: “Pembolehan ini merupakan rukhsoh (keringanan syari’at) karena para shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum melakukan hal tersebut”. [Asy-Syarhul Mumti’ 6/169] Amalan shohabat yang masyhur dan tidak diketahui ada diantara mereka yang menyelisihi maka hal tersebut adalah hujjah.
Dari kisah pengumpul zakat di hadits Ibnu ‘Umar tersebut diambil juga faidah bahwa boleh bagi seseorang untuk menyerahkan atau mewakilkan zakat fithri sebelum waktunya kepada orang yang akan membagikan kepada fakir miskin dengan syarat diketahui bahwa mereka akan membagikannya pada waktunya. [Ahkamu Zakatil Fithri 79]
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك

Kitab-kitab terkait dengan pembahasan:
Al-Mughny karya Ibnu Qudamah Rahimahulloh, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy Rahimahulloh, 
Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh, Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahulloh,  
Majmu’ul Fatawa Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh,
Asy-Syarhul Mumti’ karya Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh,  
Al-Qowa’id wa Ushulul Jami’ah karya Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As-Sa’dy Rahimahulloh, 
Fathul ‘Allam karya Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh
Ahkamu Zakatil Fithri karya Syaikhuna Zayid Al-Wushoby Hafizhohulloh
Al-Ghonimah karya Mu’adz Za’im Hafizhohulloh
Maa Ikhtalafa fihi Al-Hukmu bil Qillah wal Katsroh wal ‘Ibaaroh karya DR Bu Bakr Bah Waffaqohulloh

[1] Ibnu Hazm Rahimahulloh berpendapat akan wajibnya demikian juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad, apabila usia kandungan lebih dari 120 hari. Namun hukum-hukum dunia baru terkait dengan janin ketika dia keluar dalam kondisi hidup kecuali wasiat dan warisan. Secara bahasa dan adat, janin juga tidak dinamakan anak-anak.
[2] Yaitu firman Alloh Ta’ala:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم [التوبة: 60]
[3] Kecuali burr (salah satu jenis gandum) Terdapat hadits-hadits dalam masalah ini yang tak lepas dari cacat namun secara keseluruhan terangkat ke derajat shohih. Pendapat ini sah dari Kholifah yang empat (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali) juga Ibnu Mas’ud, Jabir, Abu Hurairoh, Ibnu Az-Zubair, Mu’awiyah, Asma’ Rodhiyallohu ‘Anhum. Ini juga yang dirojihkan Saikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Al-Albany, dan Syaikhuna Muhammad Hizam (lihat Fathul ‘Allam 2/499-501)
[4] Dijaga dengan sistem pemberian ijazah terhadap takaran tiruan yang sudah distandarkan dengan takaran yang ada.
[5] Lihat: Subulus Salam, Syarh Shohih Al-Bukhory – Ibnu Baththol, ‘Umdatul Qori’ dll
[6] Tidak boleh memburu buruannya, tidak boleh memotong pohonnya dll

ZAKAT FITHRI

Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits Dammaj, Kamis 14 Romadhon 1433

Sumber: www.ahlussunnah.web.id

Posting-posting Terkait

>>> Risalah: Zakat Fithri
>>> Risalah: Idul Fithri
>>> Berita 1 Syawwal 1433H
>>> Berita 1 Ramadhan 1433H
>>> Kitabush-Shiyam Bulughul-Maram al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani oleh Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Iryani
>>> Kitabush-Shiyam (Fasting) Bulughul-Maram al-Asqalani oleh Ahmad Banajah
>>> Nasihat Bermanfaat dari Masyaikh Yaman: Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Iryani dan Syaikh 'Abdul-Ghani al-'Umari
>>> (Soal-Jawab) Permasalahan: Dakwah, Fitnah, & Hizbiyyah
>>> Sifat Shalat Nabi oleh Syaikh Zaid bin Hasan al-Wushabi dan Syaikh Abdullah bin Ahmad al-Iryani

http://islam-itu-mulia.blogspot.com/2012/08/risalah-zakat-fithri.html