Larangan untuk Merayakan Hari Raya Orang Kafir dan Perayaan yang Tidak Dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti Perayaan Tahun Baru Hijriah dan Masehi, Hari atau Malam Nisfu Sya’ban, Maulid Nabi, Hari Ulang Tahun, Apalagi Ikut Merayakan NATAL, IMLEK, Cap Go Meh, Waisak, NYEPI dll.

بسم الله الرحمن الرحيم

Larangan untuk Merayakan Hari Raya Orang Kafir dan Perayaan yang Tidak Dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti Perayaan Tahun Baru Hijriah dan Masehi, Hari atau Malam Nisfu Sya’ban, Maulid Nabi, Hari Ulang Tahun, Apalagi Ikut Merayakan NATAL, IMLEK, Cap Go Meh, Waisak, NYEPI dll.
*****
Mengadakan Perayaan-perayaan

Pertanyaan Pertama dari Fatwa Nomor (1002 )

Pertanyaan 1: Apa hukum perayaan-perayaan yang dilakukan oleh kaum Muslimin dalam rangka pernikahan, pindah rumah, hari ulang tahun, dan perayaan kebahagiaan lainnya? Dalam acara itu dibacakan ayat-ayat Alquran dan nasyid-nasyid pujian untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ditutup dengan ritual berdiri untuk menghormati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam?
Jawaban 1: Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang pernikahan secara rahasia (diam-diam) dan memerintahkan untuk mengumumkan acara pernikahan. Resepsi dan tasyakur pindah ke rumah suami termasuk bentuk mengumumkan pernikahan. Dengan demikian, ini dianjurkan oleh agama. Kecuali, jika dalam acara tersebut terdapat nyanyian yang tidak baik, bercampurnya laki-laki dan perempuan, atau perbuatan haram lainnya.


Kedua, hari raya dalam Islam ada tiga: Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jumat. Adapun hari ulang tahun dan perayaan kebahagiaan lainnya seperti tahun baru hijriah dan masehi, hari atau malam Nisfu Sya’ban, maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan pelantikan raja atau presiden, belum pernah dilakukan di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Khulafaur Rasyidin, atau pun pada tiga abad yang dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai masa terbaik. Sehingga, ini termasuk perbuatan bidah yang diada-adakan. Perbuatan ini dicontoh umat Islam dari umat lain. Mereka terkecoh dengannya dan merayakannya sama seperti hari raya Islam, bahkan lebih. Terkadang dalam sebagian perayaan ini terdapat pengkultusan terhadap seorang tokoh, pemborosan, bercampur antara laki-laki dan perempuan, dan menyerupai kebiasaan orang kafir dalam perayaan yang mereka anggap sebagai hari raya. Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah bersabda, " Waspadalah terhadap perbuatan yang diada-adakan (dalam agama) , karena setiap perbuatan yang diada-adakan adalah bid`ah, dan setiap bid'ah adalah sesat." Beliau juga bersabda, "Orang yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan berasal darinya, maka hal itu tertolak." Hukum keharaman ini lebih jelas berlaku pada perayaan yang diadakan untuk mengagungkan seseorang, untuk mendapatkan keberkahan darinya, dan mengharap pahala dengan melakukan ritual berdiri yang dilakukan di dalamnya, seperti perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maulid Husain, maulid al-Badawi, dan lainnya. Begitu pula, penghormatan terhadap hari atau malam tertentu dengan mengharapkan pahala atau keberkahan dari perayaannya, seperti perayaan malam atau hari Nisfu Sya’ban, malam Isra` dan Mi’raj, dan semisalnya. Sebab, melakukan perayaan-perayaan tersebut dan lainnya yang sejenis, merupakan bentuk dari pendekatan, peribadatan, dan pengharapan pahala. Adapun perayaan yang tidak dimaksudkan untuk meminta keberkahan dan pahala seperti perayaan hari ulang tahun anak, awal tahun hijriah dan masehi, dan pelantikan pemimpin, maka meskipun ini hanya termasuk bidah dalam tradisi (bukan ibadah), namun mengandung sikap penyerupaan dengan orang-orang kafir dalam perayaaan mereka. Ini juga menjadi sarana untuk perayaan-perayaan haram lainnya, yang mengandung makna penghormatan dan peribadatan kepada selain Allah. Oleh karena itu, semua perayaan itu dilarang untuk menutup pintu keharaman, dan menjauhkan dari sikap menyerupai orang-orang kafir dalam berbagai kebiasaan dan perayaan mereka. Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah bersabda, "Orang yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka." 

Ketiga, membaca Alquran termasuk ibadah dan amal saleh yang paling baik. Meskipun demikian, menjadikannya sebagai penutup perayaan-perayaan bidah adalah tidak boleh, karena merupakan penghinaan atas Alquran yang tidak diposisikan pada kondisi yang sesuai. Adapun mendendangkan nasyid-nasyid (syair-syair tanpa musik, adm.) yang berisi pujian kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah perbuatan baik, kecuali jika berisi pujian yang berlebihan terhadap beliau, maka tidak boleh. Ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam, "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang orang Nasrani memuji putra Maryam. Aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: "Hamba Allah dan Rasul Allah". ، Beliau juga bersabda, "Waspadalah kalian terhadap sikap berlebih-lebihan dalam beragama, karena itu telah membinasakan umat sebelum kalian."Begitu pula, tidak boleh mengkhususkan hari tertentu untuk dijadikan sebagai hari perayaan.

Keempat, mengakhiri perayaan dengan cara berdiri guna menghormati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan tindakan buruk yang tidak diridai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta tidak diakui oleh syariat. Bahkan, perbuatan itu termasuk perbuatan bidah yang diharamkan.

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam


Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
AnggotaAnggotaWakil Ketua KomiteKetua
Abdullah bin Mani` Abdullah bin Ghadyan Abdurrazzaq `Afifi Ibrahim bin Muhammad Ali asy Syaikh

*****