HUKUM-HUKUM SEPUTAR IBADAH QURBAN
Bagian Pertama
Ditulis oleh: Ahmad Rifai bin Mas’ud Al-Jawi
-semoga Alloh menjaganya-
Darul Hadits Dammaj, Yaman
Dzulhijjah 1433H
بسم الله الرحمن الرحيم
Ibadah qurban adalah suatu ibadah yang agung yang diperintahkan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan RosulNya shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ ﴾[الكوثر:2]
“Maka dirikanlah sholat untuk Robbmu dan berqurbanlah (untuk Robbmu).” (Qs Al-Kautsar:2)
﴿قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾ [الأنعام:١٦٢]
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadah (qurban)ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Robb semesta alam.” (Al-An’am:162)
Dan disebutkan dalam hadits Anas rodhiyallohu ‘anhu di Shohihain :
«ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ» متفق عليه
“Nabi shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam pernah berqurban dengan dua kambing domba berwarna belang dan bertanduk.” (muttafaq ‘alaih)
Dan telah dimaklumi bersama bahwa suatu ibadah tentu mempunyai syarat, rukun serta hal-hal yang diwajibkan atau disunnahkan untuk dikerjakan, yang semua itu tentunya telah diterangkan dalam kitab dan sunnah dan dijabarkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang berkaitan dengannya.
Pada risalah ini -insyaalloh- akan kami ketengahkan kepada pembaca sekalian hafidzokumulloh- pembahasan yang kami nukil beberapa kitab, di antaranya kitab Syaikhuna Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzohulloh yang khusus membahas masalah ini berjudul: At-Tajliyah Li Ahkamil Hadyi wal Udhiyah, dan kami lengkapi dengan nukilan dari kitab Fathul ‘Allam Syarh Bulugul Marom yang ditulis oleh syaikhuna Muhammad bin Hizam Al-Ba’dani hafidzohulloh. Kemudian apabila kami dapati pada kedua kitab tersebut nukilan dari ulama maka kami berusaha untuk merujuk kepada kitab aslinya walaupun dengan perantaraan Makatabah Asy-Syamilah, wallohul muwaffiq.
Hukum Berqurban
Hukum berqurban adalah sunnah muakkad, dalilnya hadits Ummu Salamah di Shohih Muslim (1977) bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا»
“Apabila telah masuk sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah dia menyentuh (dengan menggunting atau mencabut) sesuatupun dari rambut dan kulitnya”
Sisi pendalilannya adalah bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyerahkan ibadah tersebut kepada keinginan yang mau berqurban.
Juga ada atsar dari beberapa shohabat rodhiyallohu ‘anhum-, di antaranya Abu Bakar, Umar dan Abu Mas’ud, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya dengan sanad shohih, bahwa mereka pernah meninggalkan ibadah qurban sedangkan mereka dalam keadaan mampu untuk berqurban, dengan tujuan supaya orang-orang tidak meyakini wajibnya berqurban. (“Fathul ‘Allam:” 5/517)
Syarat-syarat Ibadah Qurban
Syarat pertama: Ikhlas
Qurban merupakan suatu ibadah yang ditujukan untuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, dan ibadah itu tidak syah kecuali bila dibangun di atas keikhlasan dari pelakunya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا الله مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ﴾ [البينة:5]
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya menyembah Alloh dengan mengikhlaskan ketaatan dan ibadah kepadaNya semata dengan berpaling dari selainNya, dan supaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat; yang demikian Itulah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah:5)
﴿لَنْ يَنَالَ الله لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ﴾ [الحج:٣٧]
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Alloh, tetapi Ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj:37)
Syarat kedua: Hewan yang diqurbankan harus dari bahimatul an’am.
Bahimatul an’am terdiri dari tiga jenis hewan ternak, yaitu: unta, sapi atau kambing, baik jantan atau betina, dan tidak diperbolehkan dari selain ketiga jenis tersebut.
Dalilnya adalah firman Alloh Ta’ala:
﴿وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ﴾ [الحج:3٤]
“Dan bagi tiap-tiap ummat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut nama Alloh terhadap binatang ternak yang telah dirizqikan Allah kepada mereka.” (AL-Hajj:34)
Berkata imam An-Nawawi rohimahulloh : “Semua ulama sepakat bahwa tidak sah berqurban dengan selain unta, sapi atau kambing.”
Termasuk dalam tiga jenis hewan ternak tersebut semua jenis unta, sapi,kerbau, kambing baik dho’n (domba, gembel) atau ma’z (kambing lokal, kambing jawa, kambing kacangan; yang berbulu lurus), selama hewan tersebut adalah ternak dan bukan hewan liar seperti sapi hutan atau kambing hutan, zebra, rusa dan lainnya.
Juga tidak boleh dari hasil persilangan antara binatang ternak dengan hewan liar sejenisnya. (lihat Fathul ‘Allam:5/529)
lebih diutamakan hewan jantan daripada betina, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh : “Karena yang dimaksudkan dari binatang qurban adalah dagingnya, maka jantan lebih utama daripada betina.” (Majmu Fatawa:25/75)
Dan beliau berkata: “Diperbolehkan berqurban dengan binatang ternak yang sedang hamil. Apabila anak yang ada di perutnya mati ketika diambil dari perut induknya, maka dianggap telah disembelih ketika menyembelih induknya, menurut madzhab Syafi’i, Ahmad dan selain mereka.” (Majmu’ Fatawa:26/307)
Syarat ketiga: Hewan qurban sudah berumur musinnah
bukan jadza’ah kecuali bila berupa domba.
Dalilnya adalah hadits Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«لا تذبحوا إلا مسنة إلا أن يعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن». رواه مسلم
“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, kecuali apabila sulit bagi kalian mendapatkannya, maka sembelihlah domba yang sudah berumur jadza’ah.“ (HR Muslim:1963)
Yang dimaksud dengan musinnah adalah hewan yang sudah tanggal gigi seri bawahnya dan tumbuh gigi baru sebagai gantinya. Adapun secara umur, kira-kira:
Apabila berupa unta, maka yang sudah genap berumur lima tahun dan sudah masuk tahun keenam.
Apabila berupa sapi, maka yang sudah genap berumur dua tahun dan sudah masuk tahun ketiga.
Apabila berupa kambing, maka yang sudah genap berumur dua tahun dan sudah masuk tahun ketiga baik domba atau selainnya.
Sedangkan jadza’ah dari unta adalah yang berumur genap empat tahun masuk tahun kelima, dan dari sapi atau kambing telah genap satu tahun masuk tahun kedua.
seorang arab badui ditanya: “Bagaimana kamu tahu seekor domba sudah bisa dikatakan jadza’ah?” Dia menjawab: “Apabila bulu punggungnya yang semula berdiri (ketika masih kecil) sudah mulai tidur, maka itulah jadza’ah.” (Fathul ‘Allam:5/532)
Syarat keempat: Hewan qurban harus terbebas dari cacat.
Dalam hadits Al-Baro bin ‘Azib rodhiyallohu ‘anhu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الضَّحَايَا: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ عَرَجُهَا وَالْكَسِيرَةُ وفي رواية: والعجفاءالَّتِي لَا تُنْقِي» رواه أحمد وأصحاب السنن بإسناد صحيح
“Ada empat hewan yang tidak boleh untuk qurban, yaitu: hewan yang cacat sebelah matanya dan jelas cacatnya (sampai tidak bisa melihat dengannya), hewan yang sakit dan jelas penyakitnya (tidak mungkin untuk disembuhkan), hewan yang pincang dan jelas pincangnya dan yang terpotong kakinya” dalam riwayat lain: “yang lemah sekali, sampai-sampai tulangnya tak bersumsum lagi.” (HR Ahmad dan Ashhabus Sunan, sanadnya shohih)
Keempat aib tersebut disepakati oleh para ulama, maka tidak syah bila berqurban dengan salah satu darinya. Adapun aib-aib yang lain yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih seperti cacat pada telinga (muqobalah, mudabbiroh, khorqo, syarqo, shom’a) atau cacat pada tanduk (‘adhba,jamma, ‘aqsho) atau terpotong ekornya, atau hewan yang dikebiri, semuanya itu yang benar boleh untuk dijadikan qurban, kecuali hewan yang buta (‘amya) karena bila hewan yang cacat sebelah mata saja tidak boleh untuk qurban sebagaimana dalam hadits di atas, apalagi yang cacat ke dua matanya. (Fathul ‘Allam:5/525-529)
Sedangkan hewan yang tanggal sebagian dari giginya selain gigi seri atas, maka yang benar adalah boleh untuk dijadikan hewan qurban, demikian dikatakan oleh Syaikhul Islam. (Majmu’ Fatawa:26/308).
Syarat kelima: Hewan Qurban disembelih dalam waktu yang diperbolehkan untuk berqurban.
Permulaan waktunya:
Permulaan waktu dibolehkannya menyembelih qurban adalah dari selesai sholat ‘Idul Adha, bagi yang bisa menghadiri sholat ‘id bersama imam.
Dalam Hadits Al-Baro bin ‘Azib rodhiyallohu ‘anhu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا نُصَلِّي، ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَنْحَرُ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ، فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ ذَبَحَ، فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ» متفق عليه
“Sesungguhnya yang kita mulai pertama kali pada hari (‘Idul Adha) ini adalah sholat, kemudian kita pulang lalu menyembelih qurban. Barang siapa melakukan seperti itu maka dia telah sesuai dengan sunnah kita, sedangkan yang telah menyembelih (sebelum sholat ‘id) maka hewan yang disembelihnya adalah daging yang disajikan untuk keluarganya, bukan termasuk qurban sama sekali.” (HR Bukhori:5545 dan Muslim: 1961)
Bagi orang yang berhalangan untuk menghadiri sholat ‘id bersama imam karena sakit, atau karena tinggal sendirian di tempat yang jauh dari keramaian dan sebagainya, maka apabila mau menyembelih qurban hendaklah menunggu sampai selesai sholat ‘id. Demikian dikatakan oleh Ibnu Qudamah di kitab Al-Mughni:9/52.
Akhir waktunya:
Akhir waktu penyembelihan qurban adalah tenggelamnya matahari pada hari ketiga dari hari Tasyriq. Dan hari-hari Tasyriq menurut pendapat yang benar adalah tiga hari setelah Yaumun Nahr (hari ‘Idul Adha). Dalilnya firman Alloh Ta’ala:
﴿وَاذْكُرُوا الله فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ ﴾ [البقرة:203]
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Alloh dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya.(Al-Baqoroh:203)
Dinamakan hari Tasyriq karena pada hari-hari tersebut umumnya orang menjemur daging dari hewan qurban supaya awet.
Dan dibolehkan untuk menyembelih hewan qurban pada empat hari tersebut, mulai tanggal 10 sampai tanggal 13 Dzulhijjah baik siang ataupun malam, tidak ada perbedaan dari sisi keutamaan.
Dari Jubeir bin Muth’im rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«كل أيام التشريق ذبح» رواه أحمد
“Semua hari Tasyriq adalah hari untuk menyembelih” (HR Ahmad)
Hadits tersebut dihasankan oleh Syeikhuna Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzohulloh karena dikuatkan dengan jalan-jalannya dan dengan hadits yang semakna dengannya, di antaranya:
Dari Nubaisyah Al-Hudzali rodhiyallohu ‘anhu berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ» وفي رواية: «وَذِكْرٍ لله» رواه مسلم
“Hari-hari Tasyriq, adalah hari-hari makan dan minum” dalam riwayat yang lain: “dan berdzikir kepada Alloh” (HR Muslim:1141)
Kata “makan dan minum” mengisyaratkan akan disyari’atkannya peningkatan nilai makanan pada hari-hari itu dibandingkan dengan hari yang lain, dan memberikan kepuasan bagi diri sendiri. Dan tentunya sebaik-baik makanan yang dinikmati seseorang bersama keluarganya adalah daging. (lihat At-Tajliyah:24-27)
Syarat keenam: Tidak berserikat dalam satu hewan qurban
melebihi jumlah yang disyariatkan.
Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu ‘anhuma- berkata:
«نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ» رواه مسلم
“Kami menyembelih bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada tahun (terjadinya umroh) Hudaibiyah, satu ekor unta untuk tujuh orang dan satu ekor sapi untuk tujuh orang.” (HR Muslim:1318)
Dan dari ‘Atho bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshori rodhiyallohu ‘anhu : “Bagaimanakah qurban pada masa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam ?” Beliau menjawab:
«كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ، فَصَارَتْ كَمَا تَرَى» رواه الترمذي بإسناد صحيح
“Pada masa itu satu orang berqurban dengan seekor kambing untuk dirinya sendiri dan untuk keluarganya, maka mereka makan darinya dan memberi makan orang lain, sampai kemudian orang-orang saling berlomba-lomba sehingga qurban menjadi seperti yang kamu saksikan sekarang” (HR Tirmidzi:1505 sanadnya shohih)
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa:
Apabila hewan qurban berupa unta, maka jumlah maksimal orang yang bergabung tujuh orang.
Apabila hewan qurban berupa sapi, maka jumlah maksimal orang yang bergabung tujuh orang.
Apabila hewan qurban berupa kambing, maka hanya bisa untuk orang yang berqurban dengannya beserta keluarganya, dan tidak boleh lebih dari satu keluarga.
Berkata imam Asy-Syaukani rohimahulloh : “… yang benar bahwa seekor kambing itu bisa berqurban dengannya untuk satu keluarga, meskipun jumlah mereka seratus orang atau lebih, sebagaimana ditentukan oleh sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam.” (Nailul Author:5/143)
Adapun kadar minimal yang bisa untuk berqurban dengannya adalah seekor kambing, atau sepertujuh sapi, atau sepertujuh unta.
Syarat ketujuh: membaca “bismillah” ketika menyembelih.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
﴿وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ﴾ [الأنعام:121]
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Alloh ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (Al-An’am:121)
﴿وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ الله لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ﴾ [الحج:٣٦]
“Dan telah Kami jadikan untuk kalian unta-unta itu sebagian dari syi’ar-syiar Alloh, kalian memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah nama Alloh ketika kalian menyembelihnya dalam keadaan unta-unta itu berdiri (dan telah terikat salah kaki kiri depannya). Kemudian apabila unta-unta itu telah roboh (mati), maka makanlah sebagian darinya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu untuk kalian, supaya kalian bersyukur.” (Al-Hajj:36)
Dari Jundub bin Abdillah Bin Sufyan Al-Bajali rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«من ذبح قبل أن يصلي، فليذبح أخرى مكانها، ومن لم يذبح، فليذبح باسم الله» متفق عليه
“Barang siapa menyembelih (qurbannya) sebelum sholat (‘id) maka hendaklah dia mengganti dengan qurban yang lain, dan siapa yang belum menyembelih hendaklah segera menyembelih dengan menyebut nama Alloh” (muttafaq ‘alaih, Bukhori:985 dan Muslim:1960)
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah berkata: “Disyariatkan untuk membaca basmalah ketika menyembelih.” Kemudian beliau menyebutkan beberapa pendapat ulama (tentang hukum membaca basmalah).
sampai pada perkataan beliau: “… dan ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib secara mutlak, maka seekor sembelihan tidak boleh dimakan apabila disembelih tanpa bismillah, baik dengan disengaja atau karena lupa. Demikian salah satu pendapat imam Ahmad yang dipilih oleh Abul Khoththob dan yang lainnya serta banyak ulama salaf. Ini adalah pendapat yang paling tepat, karena kitab dan sunnah telah menggantungkan hukum halalnya sembelihan dengan menyebut nama Alloh dalam banyak tempat…” (tafsir Ibnu Taimiyah:2/9)
Berkata syaikhuna Yahya hafidzohulloh: “Kesimpulannya; bahwa apabila orang meninggalkan basmalah ketika menyembelih dengan sengaja, maka dia berdosa karena dia telah melanggar hukum Alloh. Adapun bila meninggalkannya karena lupa, maka tidak berdosa, akan tetapi sembelihannya haram untuk dimakan sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, walhamdulillah.
Dan apabila ketika menyembelih menyebut nama-nama Alloh yang lain selain lafadz “bismillah” (misalnya “bismirrohman”) maka tidak syah sembelihannya, karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak menyebut kecuali “bismillah” ketika menyembelih atau ketika makan dan sebagainya, dan beliaulah yang mengatakan:
«من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد» متفق عليه عن عائشة
Barang siapa mengada-adakan perkara yang baru dalam perkara (agama) kita ini maka perkara itu tertolak.(Muttafaq ‘Alaih dari hadits ‘Aisyah)
(lihat At-Tajliyah:40)
Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Ibadah qurban
Kewajiban pertama: Orang yang akan berqurban, apabila telah masuk sepuluh hari awwal dari bulan Dzulhijjah, tidak boleh mengambil sedikitpun dari rambut dan kulitnya.
Dalilnya adalah hadits Ummi Salamah yang diriwayatkan oleh imam Muslim (1977) bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا» وفي رواية: «فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ، وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ»
Apabila telah masuk sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah dia menyentuh sesuatupun dari rambut dan kulitnya” dan dalam riwayat lain: jangan mengambil sesuatupun dari rambut dan kukunya sampai disembelih qurbannya.”
Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rohimahulloh berkata: “Tidak disebutkan dalam hadits ini lafadz: ومن يضحى عنه (dan orang yang diniatkan untuknya qurban tersebut). Tambahan lafadz seperti ini adalah tambahan dari sebagian ahli fiqh atau sebagian ulama. Yang benar adalah hanya orang yang berqurban sajalah yang tidak boleh mengambil (rambut dan kulitnya) sampai menyembelih qurbannya. Adapun orang yang diniatkan untuknya qurban tersebut seperti istri dan anak-anaknya, maka tidak berdosa apabila melakukan hal tersebut, karena kepala keluarga dialah yang mengeluarkan harta untuk berqurban, inilah pendapat yang benar.” (Majmu’ Fatawa Syaikh bin Bazz: 25/242)
Adapun syaikhuna Yahya hafidzohulloh berpendapat bahwa larangan tersebut mencakup istri, anak-anak beserta seluruh anggota keluarga, dan siapa saja yang diniatkan pahala qurban untuknya. Beliau membawakan perkataan para ulama yang berpendapat seperti ini (lihat At-Tajliyah:41).
Kemudian ketika beliau ditanya tentang masalah ini pada hari Jum’at sore yang lalu tanggal 3 Dzulhijjah 1433H, pada saat dars shohih Bukhori, beliau membantah pendapat yang menghususkan larangan tersebut hanya untuk kepala keluarga saja. Beliau menukil ucapan imam Asy-Syaukani tentang bolehnya satu kambing untuk satu keluarga walaupun jumlah mereka seratus orang atau lebih, kemudian mengatakan: “Bagaimana mungkin dari seratus orang tersebut yang dilarang hanya satu orang saja, bukankah mereka semua dianggap berqurban dan sama-sama mendapat pahala.” Demikian kira-kira yang kami dengar dari beliau, wallohu a’lam.
Hukum mengambil rambut, kuku atau sebagian dari kulit dengan alat cukur, gunting kuku atau dengan tangan dengan sengaja bagi orang yang akan berqurban adalah harom.
Berkata Syaikhuna Yahya hafidzohulloh ketika ditanya tentang masalah ini: “Apabila mengambilnya dengan sengaja maka dia berdosa, akan tetapi kalau dia merasa terganggu (kesakitan) dengannya maka boleh baginya untuk mengambilnya.” (pertanyaan malam Rabu 1 Dzulhijjah 1433H)
Kewajiban kedua: Lemah lembut terhadap hewan qurban ketika menyembelih.
Dalilnya adalah hadits Syaddad bin Aus, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata:
«إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ» رواه مسلم
“Sesungguhnya Alloh telah mewajibkan untuk berbuat baik kepada segala sesuatu. Apabila kalian membunuh, perbaguslah cara membunuhnya dan apabila kalian menyembelih, perbaguslah dalam menyembelih. Dan hendaknya setiap orang dari kalian menajamkan parangnya dan menenangkan hewan sembelihannya.” (HR Muslim:1955)
Dari Qurroh bin Iyas rodhiyallohu ‘anhu bahwa ada seseorang berkata: “Wahai Rosululloh, saya ingin menyembelih seekor kambing tetapi saya kasihan terhadapnya.” Beliau menjawab:
«والشاة إن رحمتها رحمك الله» رواه أحمد بإسناد صحيح
“Kambing itu apabila kamu mengasihaninya maka Alloh akan mengasihanimu.” (HR Ahmad:15592, dengan sanad shohih)
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma- bahwa ada seseorang yang merebahkan seekor kambing untuk disembelih sambil menajamkan parangnya, maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata kepadanya:
«وَيْلَكَ أَرَدْتَ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَاتٍ هَلَّا أَحْدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تُضْجِعَهَا» رواه عبد الرزاق والحاكم
“Celaka kamu!, apakah kamu ingin membunuhnya berkali-kali? Tidakkah kamu tajamkan parangmu sebelum membaringkannya?!” (HR Abdurrozzaq:8608 dan Hakim:7563)
Dan diperbolehkan untuk meminta bantuan orang lain untuk memegang qurbannya supaya tidak banyak bergerak ketika disembelih.
Dari seorang sahabat Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam, dia adalah salah seorang dari kaum Anshor, meriwayatkan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam merebahkan hewan qurban untuk disembelih, maka beliau berkata kepada seseorang:
«أعني على ضحيتي، فأعانه» رواه أحمد بإسناد صحيح
“Bantulah aku (untuk memegang) hewan qurbanku!” maka dia membantu beliau. (HR Ahmad:23169, dengan sanad shohih)
Kewajiban ketiga: Tidak menjual sedikitpun dari daging qurban dan tidak pula memberi tukang sembelih (jagal) dari daging tersebut sebagai upah.
Dalilnya hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu ‘anhu berkata:
«أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا»، قَالَ: «نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا» متفق عليه
“Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurus unta (qurban)nya; dengan menyedekahkan dagingnya,kulitnya dan kain penutupnya dan supaya tidak memberi sedikitpun darinya untuk yang menyembelih, beliau berkata: “Kami akan memberinya upah dari kami sendiri”. (muttafaq ‘alaih, Bukhori:1717 dan Muslim:1317)
Berkata Ibnu Qudamah rohimahulloh: “Akan tetapi bila tukang sembelih itu diberi dari daging qurban karena kefaqirannya atau sebagai hadiyah untuknya, maka yang seperti itu tidak mengapa; karena dia berhak untuk menerimanya sebagaimana orang lain, bahkan mungkin dia lebih pantas untuk mengambilnya; karena dialah yang telah mengerjakan penyembelihan itu dengan tangannya sendiri, dan tentu dia punya keinginan untuk mendapat bagian darinya.
Dan tidak boleh menjual sedikitpun dari qurbannya, baik dagingnya atau kulitnya.”
Imam Ahmad berkata: “Subhanalloh, bagaimana bisa dia menjualnya, bukankah dia telah menjadikannya untuk Alloh Tabaroka wa Ta’ala?” (Al-Mughni:9/450)
Hal-Hal Yang Disunnahkan Dalam Ibadah Qurban
Sunnah pertama: Menyembelih dengan tangan sendiri.
Dalilnya hadits Anas yang telah kami sebutkan di awal risalah ini:
«ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا» متفق عليه
“Nabi shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam pernah berqurban dengan dua kambing domba berwarna belang dan bertanduk, beliau menyembelih dengan kedua tangan beliau sendiri, dengan menyebut nama Alloh dan bertakbir, dan meletakkan kaki beliau di atas sisi tubuh kedua kambing itu .(muttafaq ‘alaih)
Sunnah kedua: Membaca takbir setelah basmalah.
Lafadznya: (بسم الله والله أكبر) Bismillah Wallohu Akbar.
Dalilnya hadits Anas di atas.
Boleh juga mengucapkan: اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ تَقَبَّلْ مِنِّيْ berdasarkan hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu dawud:2795 dan Al-Baihaqi:9/281, dihasankan oleh syaikhuna Muhammad bin Hizam hafidzohulloh. (lihat Fathul ‘Allam)
Sunnah ketiga: Meletakkan kaki kanan di bahu hewan yang akan disembelih setelah direbahkan di atas sisi sebelah kirinya, apabila hewan tersebut kambing atau sapi.
Dalilnya hadits Anas di atas.
Berkata imam An-Nawawi rohimahulloh : “Hadits tersebut (yaitu hadits ‘Aisyah yang semakna dengan hadits Anas dengan beberapa tambahan) adalah dalil bahwa disunnahkan untuk merebahkan kambing di atas lambung sebelah kirinya ketika disembelih, dan tidak disembelih dalam keadaan berdiri atau berlutut, tapi dalam keadaan terbaring miring (kearah kiri) karena itu lebih mudah baginya. Demikian disebutkan dalam hadits-hadits dan telah sepakat kaum muslimin akan hal ini.” (Syarh Shohih Muslim no.1967)
Berkata Syaikhuna Yahya Hafidzohulloh: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam meletakkan kaki beliau di atas bahu (kambing yang beliau sembelih) tidak lain dengan tujuan supaya lebih kuat dalam memegangnya, sehingga kecil kemungkinan bagi kambing tersebut untuk menggerakkan kepalanya, sehingga menghambat proses penyembelihan atau menyakiti yang menyembelih.” (At-Tajliyah:50)
Sunnah keempat: Menyembelih unta dengan nahr,
dalam keadaan berdiri dan diikat kaki kirinya yang depan.
Yang dimaksud dengan nahr adalah menusuk urat darah di pangkal lehernya dengan besi runcing atau pisau.
Dalilnya Firman Alloh Ta’ala:
﴿فَاذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَيْهَا صَوَافَّ﴾ [الحج:٣٦]
“Maka sebutlah oleh kalian nama Alloh ketika kalian menyembelihnya dalam keadaan dia berdiri (dan telah terikat).” (Al-Hajj:36)
Ibnu Umar rodhiyallohu ‘anhuma- pernah melewati seseorang yang sedang menderumkan untanya untuk disembelih, maka beliau berkata kepadanya:
«ابعثها قياما مقيدة سنة محمد صلى الله عليه وسلم» متفق عليه
“Berdirikanlah (dan sembelihlah) dalam keadaan unta itu berdiri dan terikat, itu adalah sunnah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam. (muttafaq ‘alaih)
Berkata imam An-Nawawi rohimahulloh: “Disunnahkan untuk menyembelih unta dalam keadaan berdiri dan terikat kaki kiri depannya. Sedangkan sapi dan kambing, sunnahnya adalah disembelih dengan terbaring di atas lambung sebelah kiri, kaki kanan belakang dibiarkan terlepas sedangkan kaki-kaki lainnya semua diikat menjadi satu.” (Syarh Shohih Muslim no.1320)
Sunnah kelima dan keenam: Memakan sebagian dari daging qurban dan bershodaqoh dengannya.
Dalilnya firman Alloh Ta’ala:
فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ [الحج:٣٦]
“Kemudian apabila unta itu telah roboh (mati), Maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj:36)
Dari Jabir rodhiyallohu ‘anhu bahwa Rosululloh –sholl allohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata: “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam melarang dari (makan) daging qurban setelah tiga hari, kemudian lama setelah itu beliau berkata:
«كُلُوا، وَتَزَوَّدُوا، وَادَّخِرُوا» رواه مسلم
“Makanlah kalian (dari daging qurban) dan ambillah (sebagian) untuk bekal perjalanan, dan simpanlah (sebagian yang lain).” (HR Muslim:1972)
Dan dalam hadits ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha- dengan lafadz:
«كُلُوا، وَادَّخِرُوا، وتَصَدَّقُوْا» رواه مسلم
“Makan, simpan dan bersodaqohlah kalian (dari qurban kalian).” (HR Muslim:1971)
Dan juga dalam hadits Jabir rodhiyallohu ‘anhu yang panjang, tentang sifat haji Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam disebutkan bahwa setelah beliau selesai menyembelih unta-unta beliau:
ثُمَّ أَمَرَ مِنْ كُلِّ بَدَنَةٍ بِبَضْعَةٍ، فَجُعِلَتْ فِي قِدْرٍ، فَطُبِخَتْ، فَأَكَلَا مِنْ لَحْمِهَا وَشَرِبَا مِنْ مَرَقِهَا. رواه مسلم
“kemudian beliau memerintahkan untuk mengambil dari setiap unta tersebut sepotong daging dan dikumpulkan di satu kuali, setelah matang beliau makan sebagian dagingnya dan minum kuahnya.” (HR Muslim:1218)
Imam An-Nawawi rohimahulloh berkata: “Makan dari setiap hewan yang diqurbankan hukumnya sunnah, akan tetapi karena untuk makan dari seratus unta tidak memungkinkan, maka beliau kumpulkan dalam satu kuali, supaya beliau bisa meminum kuahnya, yang didalamnya terkandung sari-sari daging dari semua unta tersebut, dan beliau makan dari sebagian daging itu sekedarnya.
Para ulama sepakat bahwa makan dari hadyi tathowwu’ (qurban yang disembelih di tanah suci yang tidak wajib) dan makan dari hewan qurban yang lain hukumnya sunnah bukan wajib.” (Syarh shohih Muslim no.1218)
Sunnah ketujuh: Menggemukkan hewan qurban.
Imam Al-Bukhori rohimahulloh meriwayatkan atsar dari Abi Umamah bin Sahl bin Hunaif rodhiyallohu ‘anhu secara muallaq, bahwa beliau berkata:
«كنا نسمن الأضحية بالمدينة، وكان المسلمون يسمنون»
“Kami dahulu menggemukkan hewan qurban di Madinah, begitu pula kaum muslimin”.
Berkata ibnu Qudamah rohimahulloh: “Dan disunnahkan untuk menggemukkan hewan qurban, berdasarkan firman Alloh Ta’ala:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ الله فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ [الحج:٣٢]
“Demikianlah (perintah Alloh), dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Alloh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (Al-Hajj:32)
Berkata Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu: “Pengagungan Syiar Alloh dalam ibadah qurban adalah dengan menggemukkan hewan qurban, membesarkan dan membaguskan badannya.”
Yang demikian itu akan lebih memperbanyak pahala dan menambah manfaatnya.” (Al-Mughni:9/439)
Sunnah kedelapan: Menyembelih di hari idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah.
Dalilnya adalah hadits Al-Baro bin ‘Azib yang telah kami sebutkan diawal risalah ini bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya yang kita mulai pertama kali pada hari (‘Idul Adha) ini adalah sholat, kemudian kita pulang lalu menyembelih qurban.”
Diperbolehkan menyembelih qurban pada tiga hari tasyriq (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah), sebagaimana kami jelaskan di muka, akan tetapi menyembelih pada hari ‘id lebih afdhol, karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa alihi wa sallam menyembelih qurbannya pada hari itu, dan kita tidak mengetahui adanya dalil yang menyebutkan bahwa beliau menyembelih qurban pada selain hari tersebut, dan Alloh tidak memilihkan sesuatu untuk NabiNya kecuali yang paling afdhol. (At-Tajliyah:55)
Demikian beberapa hukum yang berkaitan dengan ibadah qurban secara ringkas. Dan ada beberapa permasalahan penting yang bercabang dari poin-poin di atas, insyaalloh akan kami susulkan segera mungkin pada bagian kedua, wabillahittaufiq.
Maroji’:
Al-Quran dan terjemahannya, Moh. Taufiq, quran in word ver.1.3.
Shohih Al-Bukhori, Muhammad bin ismail Al-Bukhori, cet. Dar Thouq an-Najah, edisi pertama.
Shohih Muslim, Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi, cet. Dar Ihyaut Turots Beirut.
Majmu’ Fatawa Syaikh bin Baz
Daqoiqut Tafsir libni Taymiyah, cet. Muassasah ulumul Qur’an, edisi kedua
Musnad Ahmad bin Hambal, cet. Ar-Risalah, edisi pertama.
Mustadrok Hakim, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah, edisi pertama.
Nailul Author, Asy-Syaukani, cet. Darul Hadits Mesir, edisi pertama.
Syarh Shohih Muslim, An-Nawawi, cet. Ihyaut Turots Beirut, edisi kedua.
Al-Mughni, Ibnu Qudamah, cet. Maktabah Al-Qohiroh.
Sumber: isnad.net
HUKUM-HUKUM SEPUTAR IBADAH QURBAN
Bagian Kedua
Ditulis Oleh: Ahmad Rifai bin Mas’ud Al-Jawi
-semoga Alloh menjaganya-
Darul Hadits Dammaj, Yaman
Dzulhijjah 1433H
بسم الله الرحمن الرحيم
Beberapa Permasalahan Penting Berkaitan Dengan Ibadah Qurban:
Masalah pertama: Bolehkah mengganti hewan yang sudah diniatkan untuk berqurban dengan hewan yang lain atau menjualnya?
Apabila menggantinya dengan yang lebih baik dari hewan yang pertama, kebanyakan ulama membolehkan. Demikian juga menjualnya kemudian menggantinya dengan yang lebih baik.
Dalilnya hadits ‘Aisyah:
لو لا أن قومك حديثوا عهد بجاهلية لأنفقت كنز الكعبة في سبيل الله ولجعلت بابها بالأرض ولأدخلت فيها من الحجر. متفق عليه
“Seandainya bukan karena kaummu (Quraisy) baru saja terlepas dari jahiliyyah, tentu akan aku infaqkan perbendaharaan Ka’bah di jalan Alloh, dan aku buat pintunya sejajar dengan tanah, dan akan kuperluas sampai ke Hijr Isma’il. (muttafaq ‘alaih)
Telah dimaklumi bersama bahwa Ka’bah adalah semulia-mulia waqof di atas bumi ini, meskipun demikian, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam ingin menggantinya dengan yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang sudah diniatkan untuk Alloh secara umum boleh diganti dengan yang lebih baik. Demikian yang dirojihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya sebagaimana dinukil oleh syaikhuna Yahya hafidzohulloh, dan beliau melemahkan hadits yang melarang hal tersebut. (At-Tajliyah:56-57, Fathul ‘Allam:5/524)
Masalah kedua: Apabila hewan qurban disembelih setelah berakhirnya waktu ibadah qurban?
Bila hewan qurban tersebut adalah qurban yang wajib, seperti bila pemiliknya bernadzar untuk berqurban dengannya;
Berkata Syaikh Utsaimin rohimahulloh: “Apabila mengakhirkannya dengan sengaja maka tidak sah qurbannya, dan tidak diperintahkan untuk mengganti. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam berkata:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد. رواه مسلم
“Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada pada agama kita ini, maka amalan itu tertolak.” (HR Muslim)
Sedangkan apabila karena hal-hal yang tidak disengaja misalnya; karena lupa, atau tidak tahu hukum, atau karena hewannya kabur dan baru bisa ditangkap setelah berakhirnya waktu qurban, maka dia boleh untuk menyembelihnya dengan niat qurban, karena dia mempunyai udzur. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam:
من نام عن صلاته أو نسيها فليصلها لإذا ذكرها لا كفارة لها إلا ذلك. متفق عليه
“Barang siapa tertidur dari sholatnya atau lupa mengerjakannya, maka hendaklah dia segera sholat, tidak ada kewajiban baginya untuk menebus kecuali dengan itu. (muttafaq ‘alaih)
Bila qurban tersebut diniatkan untuk tathowwu’ (qurban yang sunnah), maka bila telah berakhir waktunya hilang kesempatan untuk berqurban, tapi boleh baginya untuk menyembelih dan membagikan dagingnya dengan niat shodaqoh. (fathul ‘Allam:5/521-522)
Masalah ketiga: Haruskah menentukan hewan mana yang akan diqurbankan?
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat harusnya menentukan hewan yang mana yang akan dijadikan qurban. Dengan penentuan ini maka hewan yang sudah ditunjuk tidak boleh disembelih selain dalam rangka ibadah qurban, tidak boleh dijual, tidak boleh dicukur bulunya, tidak boleh dijual anaknya, tidak boleh diminum susunya, kecuali bila lebih dari kebutuhan anaknya dan sebagainya. Akan tetapi mereka berselisih tentang bagaimana cara menentukannya. Sebagian berpendapat bahwa cara menentukannya adalah dengan ucapan seperti: “ini qurbanku.” Sebagian yang lain menentukannya dengan dibelinya hewan tersebut untuk qurban.
Yang benar dalam masalah ini adalah bahwa hewan qurban ditentukan ketika menyembelihnya dengan niat untuk qurban, karena tidak adanya dalil yang menjelaskan tentang waktu penentuan ataupun lafadznya. Dengan demikian, maka tidak wajib untuk memenuhi hal-hal yang disebutkan oleh jumhur di atas, sehingga diperbolehkan untuk mencukur bulunya, meminum susunya dan seterusnya. Demikian dirojihkan oleh syaikhuna Muhammad bin Hizam hafidzohulloh. (Fathul ‘Allam:523-524)
Masalah keempat: Hewan apakah yang paling afdhol untuk qurban?
Yang paling afdhol untuk qurban adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, kemudian gabungan dalam satu ekor unta, kemudian gabungan dalam satu ekor sapi.
Dalilnya hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam berkata:
من راح في الساعة الأولى فكأنما قرب بدنة، ومن راح في الساعة الثانية فكأنما قرب بقرة…..متفق عليه
“Barang siapa berangkat (menuju sholat Jum’at) pada awal waktu, maka seakan-akan dia berqurban dengan seekor unta, dan barang siapa berangkat pada waktu kedua, maka seakan-akan dia berqurban dengan seekor sapi….(muttafaq ‘alaih).
Ini menunjukkan bahwasanya bershodaqoh dengan unta lebih besar pahalanya daripada bershodaqoh dengan sapi. Dan bershodaqoh dengan sapi lebih besar pahalanya daripada bershodaqoh dengan kambing. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan bahwasanya pahala itu sesuai dengan kadar rasa capek atau nafkah yang dikeluarkan. (HR Al Bukhoriy (1787) dan Muslim (1211)).
Dan juga karena yang paling afdhol untuk hadyi adalah unta, maka qurban diqiyaskan dengannya, karena sama-sama sembelihan. (Fathul ‘Allam:5/30)
Adapun syaikhuna Yahya hafidzohulloh, beliau merojihkan bahwa yang paling afdhol untuk qurban adalah kambing, karena Rosululloh berqurban dengannya, dan yang paling afdhol untuk hadyi adalah unta, karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam berhadyi dengannya. (Faidah Mudawwanah min Durus Syaikhina bitarikh 25/11/131H )
Masalah kelima: Bolehkah makan dari qurban yang diniatkan untuk nadzar?
Orang yang bernadzar untuk berqurban, diperbolehkan baginya untuk makan dari qurban tersebut, karena nadzar tidak merubah hukum yang terkait dengan hewan qurban yaitu untuk disembelih dan dimakan. Nadzar hanya menjadikan qurban yang tadinya sunnah menjadi wajib. (Fathul ‘Allam:5/535 )
Masalah keenam: Perbedaan niat orang-orang yang bergabung dalam satu sembelihan.
Jika sebagian orang yang bergabung dalam satu sembelihan berniat untuk berqurban dengannya, sedangkan yang lain bergabung dengan niat untuk mendapatkan bagian dagingnya saja, bukan untuk qurban, maka orang yang berniat untuk qurban sah qurbannya, dan masing-masing mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan. (Fathul ‘Allam: )
Masalah ketujuh: Berqurban untuk orang lain tanpa sepengetahuannya.
Apabila orang tersebut sudah meninggal, maka tidak disunnahkan untuk menghususkan suatu qurban atas nama yang telah meninggal itu. Karena Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tidak pernah berqurban atas nama Khodijah, istri tercinta beliau, tidak pula atas nama Hamzah bin Abdil Muththolib atau yang lainnya. Yang beliau lakukan adalah berqurban atas nama beliau dan keluarga beliau. Dan secara otomatis masuk di dalam bilangan keluarga beliau siapa saja yang meninggal dari keluarga beliau dalam keadaan Islam, sehingga dengan demikian beliau berqurban atas nama yang telah meninggal tapi tidak secara khusus, dan yang seperti ini boleh. (Fathul ‘Allam:5/538)
Syaikhuna Yahya hafidzohulloh berkata: “Tidak disyariatkan berqurban atas nama mayyit.” Dan beliau menukilkan perkataan Ibnul Mubarok: “Lebih aku sukai bila dia bershodaqoh atas namanya (mayyit) bukan berqurban.” (At-Tajliyah:58)
Masalah kedelapan: Apabila mewakilkan orang lain untuk menyembelih, haruskah orang yang mewakilinya menyebut nama pemilik qurban ketika menyembelih?
Para ulama sepakat bahwa orang yang mewakili tidak wajib menyebut nama pemilik hewan qurban ketika menyembelih, dan apabila dia sebutkan namanya boleh-boleh saja.(Fathul ‘Allam:5/539)
Masalah kesembilan: Bila mewakilkan seorang ahlul kitab dalam menyembelih qurban?
Qurbannya sah, karena sembelihan ahlul kitab adalah sembelihan yang sah, sedangkan yang berqurban dengannya adalah si pemilik hewan tersebut. Akan tetapi hal yang seperti ini makruh menurut jumhur ulama. (Fathul ‘Allam:5/539)
Masalah kesepuluh: Bolehkah seorang budak berqurban dari hartanya sendiri?
Apabila diizinkan oleh tuannya boleh bagi budak untuk berqurban sendiri, dan bila tidak diizinkan maka tidak boleh. (Fathul ‘Allam:5/539)
Masalah kesebelas: Bolehkah berqurban untuk anak yatim dari harta anak yatim tersebut?
Jika kebiasaan daerah setempat memang sudah dimaklumi bahwa anak yatim bila dia mampu untuk berqurban, diambilkan dari sebagian hartanya untuk berqurban oleh walinya, dan bahkan kalau tidak dilakukan yang demikian itu dia akan bersedih hati, maka yang demikian ini boleh. Dan bila kebiasaan setempat kebalikan dari itu, maka sebaiknya tidak diambil dari harta anak yatim untuk berqurban. Demikian dirojihkan oleh Syaikh Utsaimin rohimahulloh sebagaimana dinukil oleh Syaikh Ibnu Hizam hafidzohulloh. (Fathul ‘Allam:5/539)
Masalah kedua belas: Mana yang lebih utama; berqurban atau bershodaqoh seharga hewan qurban tersebut?
Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Menyembelih pada saat yang disyariatkan seperti hadyi dan qurban, lebih utama dari pada bershodaqoh dengan uang yang senilai atau lebih dari itu. Hal itu dikarenakan yang dimaksudkan oleh syariat pada saat-saat tersebut adalah penyembelihan dan pengaliran darah, yang mana itu adalah suatu ibadah yang digandengkan dengan sholat, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ [الكوثر:2]
“Maka dirikanlah sholat untuk Robbmu dan berqurbanlah (untuk Robbmu).” (Al-Kautsar:2)
قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [الأنعام:١٦٢]
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadah (qurban)ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Robb semesta alam.” (Al-An’am:162)
Oleh karena itu, bila ada orang haji tamattu’ atau qiron kemudian dia bershodaqoh dengan uang yang berlipat kali dari harga seekor hewan yang seharusnya diqurbankan, maka shodaqoh tersebut tidak bisa menggantikannya. Demikian pula udhiyah (qurban bagi yang tidak haji).” (Fathul ‘Allam:5/540)
Sumber: isnad.net